Pengertian dan Koreksi Negatif Positif Rekonsiliasi Fiskal

Pengertian dan Koreksi Negatif Positif Rekonsiliasi Fiskal

Dalam laporan keuangan, terdapat perbedaan perhitungan yang berkaitan dengan perhitungan penghasilan kena pajak. Perbedaan ini sebenarnya bisa direkonsiliasi dan selanjutnya dikenal dengan istilah koreksi fiskal. Pada intinya, koreksi atau rekonsiliasi fiskal ini adalah sebuah kegiatan pencatatan keuangan yang berkaitan dengan penyesuaian atau pembetulan oleh Wajib Pajak. 

 

Adanya rekonsiliasi fiskal biasanya disebabkan oleh ditemukannya perbedaan penempatan maupun pengakuan biaya pada laporan keuangan dengan akuntansi pajak. Lantas, apa saja jenis koreksi dalam rekonsiliasi fiskal dan bagaimana langkah-langkah untuk melakukannya? Simak ulasannya berikut ini.

 

 

Baca juga: Mengenal Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

 

 

Jenis koreksi fiskal

Rekonsiliasi fiskal dalam akuntansi pajak dibedakan menjadi dua jenis untuk memudahkan Anda dalam mencatat laporan keuangan, yakni koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Keduanya sudah sesuai dengan peraturan perpajakan UU No.36 tentang PPh Koreksi Fiskal. Berikut pengertian keduanya berdasar undang-undang tersebut:

 

  • Koreksi fiskal positif

Adapun tujuan koreksi positif dalam rekonsiliasi fiskal adalah untuk menambah laba. Dalam hal ini, laba yang dimaksud adalah laba Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dengan kata lain, adanya koreksi positif tersebut dapat menambah pendapatan maupun mengurangi pengeluaran biaya dalam fiskal. Koreksi fiskal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya:

 

  1. Berhubungan dengan imbalan dalam hal jasa atau pekerjaan berbentuk kenikmatan atau natura.
  2. Adanya jumlah lebih dari yang kewajaran yang diberikan oleh pihak pajak yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa.
  3. Biaya yang tidak berhubungan dengan biaya dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
  4. Biaya dari menagih, memelihara, dan mendapatkan penghasilan yang bersifat Pajak Final maupun penghasilan di luar objek pajak.
  5. Adanya selisih antara penyusutan komersial yang ada di atas penyusutan fiskal.
  6. Bantuan, hibah, dan sumbangan.
  7. Biaya kepentingan pribadi bagi Wajib Pajak.
  8. Premi asuransi beasiswa dan asuransi kesehatan dwiguna.
  9. Sanksi administrasi.
  10. Pajak penghasilan.

 

 

Baca juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan dengan Mudah

 

 

  • Koreksi fiskal negatif

Dalam rekonsiliasi fiskal, untuk koreksi fiskal negatif sendiri bisa dikatakan merupakan kebalikan dari fiskal positif. Dengan artian, fiskal negatif ini tujuannya adalah untuk mengurangi laba komersial. Koreksi negatif ini dilakukan jika adanya laba komersial yang nominalnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan fiskal. Kemudian, ada pula faktor lainnya yang menyebabkan biaya komersilnya lebih kecil ketimbang biaya fiskal. Penyebabnya adalah sebagai berikut:

 

  1. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
  2. Adanya penyesuaian fiskal negatif yang lain dan tidak berasal dari faktor-faktor di atas.
  3. Penghasilan yang dikenai pajak PPh Final maupun penghasilan yang tidak digolongkan pada objek pajak, namun masuk dalam kategori peredaran usaha.

 

 

Baca juga: Syarat dan Jumlah Tanggungan NPWP

 

 

Bagaimana tahapan koreksi dalam rekonsiliasi fiskal?

Setelah Anda mengetahui jenis koreksi dalam rekonsiliasi di atas, ketahui pula mengenai tahapan koreksi dalam rekonsiliasi fiskal. Lakukanlah dengan cermat secara berurutan untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan. Langkahnya antara lain sebagai berikut:

 

  1. Ketahui jenis koreksi fiskal yang diperlukan oleh perusahaan. Caranya, Anda perlu menganalisis kondisi laba komersial dan juga pendapatan fiskal selama kurun waktu tertentu.
  2. Kemudian, analisis juga elemen untuk penyesuaiannya agar bisa diketahui apa saja pengaruh bagi laba usaha yang kena pajak.
  3. Lakukan monitoring pada angka yang tertera pada koreksi fiskal negatif maupun koreksi fiskal positif.
  4. Susunlah laporan keuangan dengan fiskal sebagai landasan utamanya. Lalu, lampirkan di dalam SPT Tahunan pajak penghasilan saat membayar di kantor pajak.

 

Melihat dari ulasan di atas, pencatatan keuangan dalam sebuah perusahaan memang penting.  Begitu pula dengan rekonsiliasi fiskal yang dilakukan guna memudahkan Anda dalam menganalisis keuangan perusahaan selama kurun waktu tertentu. Anda juga bisa menggunakan aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

7 Kewajiban Pajak UMKM

pajak umkm

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mulai populer sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, disebut-sebut UMKM ini mampu dijadikan sebagai penopang ekonomi nasional yang cukup penting karena dapat menciptakan lapangan kerja dan menstabilkan keuangan nasional. Namun, bagi pelaku UMKM, penting pula untuk mengetahui kewajiban pajak UMKM apa saja yang harus dibayarkan, sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan berikut ini.

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)

PPh 21 diberlakukan bila UMKM memiliki jumlah pegawai dan wajib memotong PPh 21 dari gaji, honorarium, upah, tunjangan, dan juga pembayaran dengan nama yang berkaitan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan atas usaha wajib pajak dalam negeri. Penyetoran PPh 21 bukti pemotongannya harus diserahkan pada karyawan. 

 

 

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 23  (PPh 23)

Untuk kewajiban pemotongan PPh 23, hanya dapat dilakukan oleh UMKM yang berbentuk Badan usaha. Kewajiban pemotongan ini sehubungan dengan adanya pemanfaatan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan,jasa konstruksi dan jasa lainnya kecuali yang sudah dipotong PPh 21, sewa harta selain tanah dan bangunan, bunga pinjaman selain bunga pinjaman yang dibayarkan kepada lembaga keuangan, dividen, dan royalti.

 

Tarif PPh 23 dibedakan berdasarkan Wajib Pajak yang memiliki NPWP dan Wajib Pajak tidak memiliki NPWP.  Bagi Anda yang tidak memiliki NPWP, besaran tarif pajaknya menjadi naik 100%, contoh apabila tarif pajak PPh 23 atas pemanfaatan jasa adalah sebesar 2 % ,jika si pemberi jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif pajaknya menjadi 4%.

 

 

Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26)

Pajak ini berlaku bila Wajib Pajak Badan melakukan transaksi luar negeri. Misalnya pembayaran gaji, dividen, jasa, royalti, bunga, sewa dan lainnya dalam PPh 21 dan PPh 23. Pemotongannya berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi asing maupun Wajib Pajak badan asing.

 

Tarifnya adalah 20% dari penghasilan bruto diterima badan atau orang asing. Syaratnya, di negara penerima penghasilan itu tidak ada kerjasama Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia. Selain itu, untuk penerima penghasilan ini harus menunjukkan surat penting seperti surat keterangan domisili dari negara asal.

 

Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2

Sama seperti Pajak penghasilan 23/26, untuk pemotongan ini hanya bisa dilakukan bagi UMKM yang berbentuk badan usaha atau Orang pribadi telah ditunjuk sebagai pemotongan pajak. Yang menjadi Objek Pajak PPh 4(2) ini adalah penghasilan pajak yang dikenakan atas pengalihan hak atas bangunan, transaksi sewa tanah atau bangunan, dan penghasilan atas usaha dari jasa konstruksi serta dividen perusahaan yang dibayarkan kepada orang pribadi. Sifat jenis pajak ini adalah final. Dengan kata lain, penghasilan yang sudah dipotong tadi tidak dihitung lagi pada SPT Tahunan PPh Badan. Tarifnya adalah:

 

  • Sewa tanah/bangunan 10%
  • Pengalihan hak atas tanah/bangunan 2,5%
  • Dividen yang dibayarkan ke orang pribadi 10%

 

Pajak Penghasilan Final PP 23/2018

Sejak tahun 2013, pemerintah menaruh perhatian besar terhadap UMKM, maka di tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan Peraturan pemerintah No.46 tahun 2013, yang memberikan insentif pembayaran pajak hanya sebesar 1% dari peredaran bruto dan bersifat Final, hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan para UMKM dalam membayar pajak dan kesadaran UMKM untuk membayar Pajak, bahkan di tahun 2018 pemerintah memberikan insentif tambahan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2020, untuk mengganti  PP 46 sebelumnya di peraturan ini pemerintah menurunkan tarif UMKM hingga menjadi 0,5%. Akan tetapi, sifat jenis pajak ini lebih mengacu pada insentif pelaku UMKM, terutama untuk Wajib Pajak yang diperbolehkan memilih jenis PPh Final ini yang dikarenakan tarifnya lebih ringan bila dibandingkan PPh Badan normal.

 

Adapun pemanfaatan tarif UMKM ini mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu peredaran bruto tidak boleh lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun. Hanya jenis usaha yang diperbolehkan oleh Direktorat Jenderal pajak untuk menggunakan tarif ini, dan juga mempunyai batas waktu pengenaan insentif. Yaitu 7 tahun untuk Wajib Pajak Pribadi, 4 Tahun untuk wajib pajak berbentuk persekutuan komanditer, firma, kongsi, dan 3 tahun untuk wajib pajak berbentuk perseroan. Dan dihitung sejak perusahaan berdiri atau memanfaatkan insentif ini.

 

 

Baca juga: Mengenal Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

 

 

Pajak Pertambahan Nilai

Ketika UMKM memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak,  maka kewajiban memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dilakukan. Di sini, UMKM yang sudah berstatus PKP harus menerbitkan faktur pajaknya. PPN terutang yaitu pada saat  penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dalam negeri atau diterimanya pembayaran, tergantung mana yang terjadi terlebih dahulu. Adapun besarnya PPN yang harus dipungut adalah sebesar 10%, sementara untuk kegiatan ekspor  dikenakan tarif 0%.

 

Pajak Tahunan

Selain beberapa kewajiban di atas, semua UMKM wajib menyampaikan SPT Tahunannya, bagi Wajib Pajak UMKM yang berbentuk badan usaha atau orang pribadi yang memilih pembukuan, walaupun pengenaan pajak penghasilannya bersifat final selama mendapatkan fasilitas. Kewajiban melakukan pembukuan tetap harus dijalankan, karena apabila sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai UMKM, maka perhitungan Tarif Pajak terutangnya akan kembali seperti Tarif Umum pajak penghasilan.

 

Setidaknya, itulah kewajiban pajak UMKM yang harus Anda ketahui. Kini, membayar pajak bagi pelaku UMKM semakin mudah, aman, dan cepat dengan menggunakan aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

 

6 Pengertian Jenis Pajak Penghasilan yang Perlu Diketahui

Keyword: Jenis pajak penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun badan usaha dalam jumlah tertentu dalam kurun waktu satu tahun pajak. Di Indonesia sendiri setidaknya ada delapan jenis pajak penghasilan. Apa saja jenis pajak tersebut? Berikut beberapa di antaranya yang wajib Anda ketahui sebagai Wajib Pajak.

 

Pajak Penghasilan Pasal 15

Jenis pajak penghasilan pertama ialah PPh 15 yang dikenakan bagi badan usaha maupun orang pribadi sebagai pengusaha. Beberapa di antaranya adalah perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional maupun dalam negeri, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan migas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, hingga perusahaan investor dalam bentuk build, operate, and transfer.

 

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak penghasilan Pasal 21 merupakan pemotongan bagi penghasilan dari pekerjaan, baik itu berupa jasa maupun kegiatan lainnya menggunakan nama dan bentuk apapun yang didapatkan Wajib Pajak orang pribadi di dalam negeri. Biasanya, pemotongan pajak akan ini dilakukan oleh pemberi kerja atau bendahara yang membayar gaji.

 

 

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 22

PPh 22 adalah jenis pajak penghasilan yang diberlakukan bagi Wajib Pajak atas kegiatan perdagangan barang, khususnya ekspor dan impor badan usaha tertentu, baik milik pemerintah (BUMN) maupun swasta. Hal ini diberlakukan juga atas pembelian barang mewah oleh Wajib Pajak.

 

Perhitungan pajak ini bisa dilakukan dengan menerapkan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 2,5% dari nilai impor barang. Namun, bila tidak menggunakan atau tanpa API, maka besarannya 7,5% dari nilai impor. Ketentuan tarif lainnya ialah:

 

  • Pembelian barang yang dilakukan oleh DPJP, BUMN/BUMD, dan bendahara pemerintah –  tarifnya adalah 1,5% dari pembelian.
  • Pembelian bahan keperluan untuk industri – tarifnya adalah 0,25% dikalikan harga pembelian (tidak termasuk PPN).
  • Penjualan hasil produksi – tarifnya adalah 0,1% dikalikan DPP PPN tidak final (kertas), 0,25% dikalikan DPP PPN tidak final (semen), 0,3% dikalikan DPP PPN tidak final (baja), dan 0,45% dikalikan DPP PPN tidak final (otomotif).
  • Penjualan hasil produksi maupun penyerahan barang oleh produsen atau importir minerba (mineral, bahan bakar, dan gas) dan juga pelumas yang sifatnya final untuk penyalur dan tidak final bagi lainnya.
  • Impor bahan baku seperti gandum maupun tepung terigu – tarifnya adalah 0,5% dari nilai impor.

 

Pajak Penghasilan Pasal 23

PPh 23 dikenakan untuk penghasilan atas modal, hadiah, bonus penyerahan jasa, maupun penghargaan lainnya selain yang sudah dipotong dalam PPh 21. Jenis pajak penghasilan PPh 23 akan dikenakan apabila terdapat transaksi dua belah pihak, yaitu antara penerima (dalam hal ini bisa penjual maupun pemberi jasa) dengan pihak pemberi penghasilan (penerima jasa maupun pembeli). 

 

Untuk tarifnya, diberlakukan menurut Dasar Pengenaan Pajak maupun jumlah bruto penghasilan. Lalu, ada dua jenis tarif yang tergantung pada objeknya, yaitu:

 

  • Tarif 15% dari jumlah bruto – dividen yang bukan orang pribadi, hadiah, dan penghargaan yang tidak terpotong dalam PPh 21.
  • Tarif 2% jumlah bruto – imbal jasa teknik, jasa konstruksi, jasa konsultan, maupun jasa manajemen. Begitu juga dengan penghasilan atas sewa dan penggunaan harta selain tanah dan bangunan.

 

 

Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 25

PPh 25 adalah angsuran pajak yang dikenakan dari Pajak Penghasilan terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh yang dikurangi PPh terpotong maupun PPh terutang di luar negeri dengan sifat boleh dikreditkan. Pembayarannya harus dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri dan tidak boleh diwakilkan orang lain.

 

Untuk pembayarannya sendiri dilakukan dengan cara diangsur. Hal ini untuk meringankan Wajib Pajak ketika membayar pajak tahunannya. Perhitungan angsuran pajak bulanannya adalah:

 

(PPh terutang – Kredit Pajak) /12

 

Pajak Penghasilan Pasal 26

PPh 26 dikenakan pada penghasilan dari Indonesia yang mana diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha yang tetap. Biasanya, besaran pajak yang dikenakan adalah 20%. Beberapa jenis yang akan diberlakukan tarif pajak ini antara lain adalah dividen, hadiah dan penghargaan, hingga royalti dari sewa maupun penghasilan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta.

 

Di samping itu, jenis pajak lain yang dikenakan atas PPh ini adalah bunga, diskonto maupun imbalan jaminan pengembalian utang dan juga pembayaran atas jasa, pekerjaan, hingga kegiatan. Pajak ini juga berlaku bagi premi swap, pensiunan dan pembayaran berkala, dan keuntungan yang dikarenakan pembebasan hutang.

 

Di atas merupakan beberapa pengertian jenis pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui sebagai Wajib Pajak orang pribadi maupun badan usaha. Lakukanlah pembayaran pajak sebelum jatuh tempo melalui aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

Mengenal Pengertian Penghasilan Bruto

penghasilan bruto adalah

Sudah bekerja dan memiliki pendapatan sendiri? Jika ya, maka Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan aktivitas perpajakan. Termasuk juga mengenali beberapa istilah yang sering dipakai saat mengurus pajak. Terkait dengan pendapatan Anda tadi, salah satu istilah yang pastinya pernah Anda dengar adalah penghasilan bruto. Penghasilan bruto adalah salah satu objek yang wajib dilaporkan oleh setiap Wajib Pajak. Ini dia penjelasan lebih jauh soal penghasilan bruto.

 

Apa itu penghasilan bruto?

Penghasilan bruto adalah penghasilan kotor yang terkumpul dalam satu tahun. Karena disebut penghasilan kotor, sumber penghasilan bruto didapatkan dari sumber yang fleksibel. Artinya, sumber penghasilannya bisa berasal dari mana saja, termasuk hasil usaha atau gaji tetap Anda. Selama penghasilan itu diperoleh dari aktivitas kerja, maka akan dianggap sebagai penghasilan bruto.

 

Selain itu, penghasilan bruto adalah penghasilan yang tidak hanya diterapkan pada Wajib Pajak perorangan saja. Jenis penghasilan itu juga diterapkan pada Wajib Pajak institusi, badan usaha, dan sejenisnya. Penghasilan bruto menjadi jenis penghasilan yang nantinya akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.

 

Penghasilan bruto adalah jenis penghasilan yang dibagi dalam dua jenis penghasilan, yakni penghasilan bruto yang bersifat rutin dan tidak rutin. Penghasilan yang bersifat rutin ini merujuk pada pendapat dari gaji pokok juga tunjangan. Disebut rutin karena konsistensi perolehannya,  sementara yang bersifat tidak rutin diperoleh secara tidak tentu dan tidak teratur. Bonus atau THR bisa termasuk dalam jenis penghasilan bruto tidak teratur.

 

Dasar hukum penghasilan bruto

Untuk penghasilan bruto ini pun ada dasar hukumnya yang mengatur. Salah satunya adalah UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Lalu, ada juga Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

 

Membaca regulasi atau ulasan lebih lanjut tentang kedua regulasi di atas bisa memberikan Anda pandangan lengkap soal penghasilan bruto. Berikut ketentuan definitif juga cara menghitung pajak penghasilan yang akan dibebankan pada penghasilan bruto ini.

 

Komponen penghasilan bruto yang harus dilaporkan

Sebagaimana diatur perihal penghasilan, penghasilan bruto adalah jenis penghasilan yang juga punya beberapa komponen wajib lapor pajak. Komponen-komponen ini wajib tercantum dalam laporan SPT tahunan Anda. Ini dia daftar lengkapnya;

 

  • Uang pensiunan (bagi yang sudah pensiun) serta gaji.
  • Berbagai tunjangan, termasuk di sini Tunjangan Hari Raya, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan PPh, juga tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, transportasi, makan, hingga tunjangan biaya pendidikan.
  • Honorarium juga wajib dilaporkan, termasuk apabila honorarium berbentuk imbalan atau uang tunai.
  • Premi asuransi yang dibayarkan.
  • Bonus tahunan yang diterima.

 

Komponen penghasilan bruto diambil dari penghasilan-penghasilan yang Anda peroleh selama jangka waktu satu tahun. Setelah menuliskan tiap komponen dalam SPT, barulah Anda akan mengetahui seberapa besar nilai PPh yang harus dibayarkan kemudian.

 

Melakukan perhitungan sendiri terhadap berbagai jenis sumber pendapatan yang Anda miliki perlu dilakukan dengan teliti dan akurat. Tujuannya jelas agar mengetahui besaran Wajib Pajak yang tepat pula. Jika Anda merasa kesulitan untuk melakukan perhitungan, dan membutuhkan dampingan atau bantuan yang aman dan efisien, menggunakan aplikasi pajak online AyoPajak bisa jadi salah satu solusinya.

 

Aplikasi pajak online dari AyoPajak diawasi langsung oleh Direktorat Jenderal Pajak Indonesia ini memberikan asistensi berupa fitur-fitur layanan perpajakan. Mulai dari fitur yang membantu perhitungan pajak untuk Anda sampai fitur aplikatif untuk membantu Anda mengisi SPT dan melakukan pembayaran pajak tersebut secara daring.

Penjelasan Account Receivable dalam Perpajakan

account receivable adalah

Account Receivable dalam Perpajakan

Account receivable adalah istilah yang sangat umum terdengar terutama dalam bidang akuntansi. Istilah yang sama juga biasa digunakan berdampingan dengan istilah lainnya, yakni account payable. Namun, ternyata tidak hanya digunakan dalam dunia akuntansi saja, account receivable adalah istilah yang juga digunakan dalam dunia perpajakan. Berikut penjelasannya lebih jauh.

 

Apa itu account receivable

 

Account receivable adalah istilah yang juga dapat disebut dengan istilah piutang usaha. Piutang usaha ini merujuk pada piutang yang ada karena sudah melangsungkan transaksi penjualan barang atau jasa secara kredit. Piutang usaha seringkali dilakukan perusahaan untuk bisa menjual barang atau jasa dalam jumlah banyak, sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian karena ada sisa stok barang yang tidak terjual.

 

Ketika perusahaan membuat perintah penjualan, maka account receivable belum tercatat. Account receivable resmi tercatat jika pembeli sudah mengirimkan uang sebagai cicilan pembayaran atau pelunasan uang muka. 

 

Perbedaan account receivable dengan piutang pajak

Sementara itu, account receivable tidak bisa disamakan dengan piutang pajak. Piutang pajak tergolong sebagai piutang lain-lain dalam pembukuan perusahaan. Piutang pajak diartikan sebagai piutang yang ditagihkan karena pendapatan pajak yang belum dilunasi sampai akhir masa pencatatan keuangan.

 

UU KUP No. 29 Tahun 2007 mengatur tentang potensi pendapatan negara. Inilah yang menyebabkan adanya pengakuan piutang pajak ini sendiri. Pengakuan piutang pajak ditandai dengan terbitnya Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak karena telah dilaksanakan proses penagihannya.

 

Dengan kata lain, account receivable merupakan hal yang wajib dibayarkan oleh pembeli terutang ke perusahaan. Sementara itu, piutang pajak adalah hal yang wajib dilunasi oleh subjek Wajib Pajak dalam periode berjalan di tahun berikutnya. Baik account receivable maupun piutang pajak akan dimasukkan sebagai aset lancar dalam neraca laporan keuangan. 

 

Ciri-ciri account receivable

Pertama, account receivable memiliki nilai jatuh tempo, yakni nominal tagihan transaksi utama yang sudah ditambah bunga. Kedua, tanggal jatuh tempo saat perusahaan akan menagih piutang ke pembeli. Apabila pembeli gagal membayar sebelum tanggal jatuh tempo berakhir, maka perusahaan akan memberlakukan denda. 

 

Ketiga, adanya umur jatuh tempo yang dibagi jadi harian maupun bulanan. Maksudnya, jika account receivable dihitung bulanan, maka tanggal jatuh tempo piutang usaha akan berlaku di tanggal yang sama dengan transaksi utama setiap bulannya. 

 

Account receivable dan piutang pajak memberlakukan denda jika ada kegagalan pembayaran. Dalam account receivable, apabila transaksi penjualan dikenakan PPN 10% dari total harga barang, maka account receivable juga dicatat masuk dalam PPN. 

 

Cara meminimalisir piutang tak tertagih

Agar bisa melancarkan cash flow dan juga proses pencatatan keuangan, maka perusahaan harus giat dalam menagih piutang usaha atau piutang lainnya seperti piutang pajak. Dalam mencegah adanya piutang tak tertagih, perusahaan harus rajin melakukan follow up ke terutang. Bila memang kegagalan pembayaran sudah sering terjadi, maka perusahaan perlu memberikan sikap yang lebih agresif. 

Tetapkan denda dan limit kredit. Selanjutnya, jika terutang tergolong sebagai pembeli yang sulit diajak berkoordinasi perihal penagihan piutang usaha ini, tidak ada salahnya untuk memasukkan terutang ke dalam daftar hitam. 

 

Nah, piutang tak tertagih ini juga harus dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam PPh. Piutang tak tertagih akan disebut sebagai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Tidak perlu bingung soal piutang tak tertagih ini dalam pelaporan PPh. Melakukan perhitungan PPh yang akurat pun sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan aplikasi pajak online AyoPajak. Aplikasi yang menyediakan berbagai fitur efisien untuk mendampingi Anda dalam melakukan perhitungan dengan akurat dan yang merupakan PJAP resmi serta diawasi langsung oleh DJP.

 

Tidak hanya menyajikan fitur untuk membantu Anda berhitung, beberapa fitur lainnya juga tersedia. Termasuk pula fitur untuk membantu Anda melakukan pembayaran pajak secara daring dengan lebih fleksibel. Ditambah lagi, Anda juga bisa mengatur sistem pengingat untuk aktivitas pajak lainnya yang penting untuk segera dihitung atau diselesaikan agar bisa segera memenuhi tanggung jawab sebagai seorang Wajib Pajak.

Cara Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak

Penghasilan tidak kena pajak

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan besaran penghasilan yang menjadi acuan tidak kena pajak untuk Wajib Pajak kategori orang pribadi. Jadi, jika penghasilan neto Wajib Pajak pribadi yang menjalankan usaha maupun kerja bebas berjumlah di bawah PTKP, maka yang bersangkutan tidak dikenakan pajak. 

 

Akan tetapi, bila status Wajib Pajak ini adalah seorang pegawai maupun menerima penghasilan tetap sebagai objek dari peraturan pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak dikenai pemotongan PPh 21. Lalu, berapa besaran tarif dan bagaimana cara menghitungnya? Berikut ulasannya.

 

Pemberlakuan tarif

Tarif yang diberlakukan dalam cara menghitung pajak penghasilan pada dasarnya tidak tetap. Faktor penyebabnya adalah indeks biaya hidup setiap tahun dan penerapan upah minimum. Begitu juga dengan inflasi yang menjadi penentu besaran tarif PTKP yang dibayarkan oleh Wajib Pajak.

 

Sampai saat ini, besaran tarif PTKP yang diberlakukan masih tetap mengacu pada aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No.101/PMK.010/2016 tentang penyesuaian PTKP berdasarkan pada UU No. 38 Tahun 2008 Pasal 7, yakni:

  • PTKP bagi Wajib Pajak pribadi adalah Rp54.000.000
  • PTKP pajak tambahan bagi Wajib Pajak yang sudah menikah sebesar Rp4.500.000
  • PTKP tambahan penghasilan istri dengan penghasilan suami yang digabung adalah Rp54.000.000
  • PTKP tambahan bagi tiap anggota keluarga, baik keluarga yang masih sedarah maupun berdasarkan garis keturunan lurus dan juga anak angkat yang jadi tanggungan sepenuhnya sebesar Rp4.500.000 dengan jumlah tanggungan maksimal tiga orang.

 

 

Baca juga: Cari tahu cara lapor pajak pribadi online

 

 

Cara menghitung PTKP

Cara menghitung PTKP secara manual bisa Anda lakukan sebelum pembayaran pajak tahunan. Namun, hal yang perlu diingat di sini adalah pada saat melakukan perhitungan manual, Anda harus jeli. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahan di mana Anda harus menghitungnya kembali. Berikut cara dan contoh sederhana menghitung penghasilan tidak kena pajak sesuai dengan tarif yang sudah diberlakukan di atas.

 

1. Untuk Wajib Pajak tidak/belum menikah

Rudi merupakan karyawan di perusahaan terkemuka dan penghasilan setiap bulannya adalah Rp4,5 juta. Sementara, status Rudi ini adalah lajang atau belum menikah. Maka, perhitungan PTKP-nya adalah sebagai berikut:

  • Diketahui gaji bulanan Rudi = Rp4,5 juta
  • Gaji setahunnya = Rp4,5 juta x 12 = Rp54 juta
  • PTKP berdasarkan peraturan = Rp54 juta
  • PPh 21 terutang (gaji setahun – PTKP) = Rp54 juta – Rp54 juta = 0

Dari perhitungan PTKP di atas, maka Rudi tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak jenis PPh 21. Hal ini karena dirinya tidak mempunyai PPh 21 terutang. 

 

 

Baca juga: Cara Mengisi SPT 1770 yang Mudah

 

 

2. Untuk Wajib Pajak yang sudah menikah

Contoh perhitungan PTKP yang kedua adalah bagi Wajib Pajak yang sudah menikah. Ilustrasinya adalah Rudi menikah dan istri tidak bekerja serta memiliki satu orang anak, sedangkan penghasilan Rudi adalah Rp7,5 juta. Maka, tarif PTKP-nya menjadi Rp63 juta per tahunnya. Untuk perhitungannya adalah sebagai berikut:

  • Gaji pokok per bulan = Rp7,5 juta

Pengurang:

  • Biaya jabatan 5% x Rp7,5 juta = Rp375.000
  • Biaya pensiun 1% x Rp7,5 juta = Rp75.000
  • Maka gaji pokok – biaya pengurang = Rp7,5 juta – Rp450.000 = Rp7.050.000
  • Penghasilan netto = Rp7.050.000 x 12 = Rp84.600.000
  • PTKP = Rp63.000.000
  • Penghasilan Kena Pajak Setahun = Rp21.600.000
  • PPh Terutang 5% x Rp21.600.000 = Rp1.080.000
  • PPh Pasal 21 Masa Rp1.080.000/12 = Rp90.000

Dari ulasan di atas, maka Rudi harus membayar PPh 21 bulanan sebesar Rp90.000 atau Rp1.080.000 setahun.

 

3. PTKP warisan

Selain hal di atas, sebenarnya harta warisan yang belum dibagi termasuk dalam PTKP karena warisan pada dasarnya bisa dibagi kepada ahli waris dan dapat disatukan kembali dengan penghasilan oleh Wajib Pajak yang merupakan ahli waris. Maka, ketika melakukan perhitungan penghasilan kena pajak, di sini masing-masing ahli waris telah mendapatkan pengurangan yang berupa PTKP. Jadi, penghasilan dari warisan belum terbagi tidak ada pengurangan PTKP.

 

Cara menghitung penghasilan tidak kena pajak kini lebih mudah, nyaman, dan cepat dengan aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23

PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan, baik itu atas penghargaan, penyerahan jasa, atau modal. Penghasilan yang dikenakan ini umumnya berlaku pada transaksi antara pihak pemberi penghasilan dan pihak penerima penghasilan.

Demi memahami penerapan dari PPh Pasal 23 sendiri, Anda bisa membaca ulasan di bawah ini. Ketahui dengan persis apa yang diatur dalam pasal ini, kemudian jenis penghasilan yang dikenakan pajak, serta tarif, dan objek pajak itu sendiri.

 

 

Pemahaman dari PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang berbentuk Badan, seperti perseroan, persekutuan, firma, kongsi hingga yayasan. PPh Pasal 23 mengatur pemotongan atas penghasilan sebagaimana disebutkan tadi di awal. Pengambilan pajak ini hanya diberlakukan pada satu transaksi antar dua pihak. Kedua belah pihak harus menentukan kepada siapa pajak ini akan dibebankan.

 

Adapun yang berhak melakukan pemotongan sesuai PPh Pasal 23 adalah pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara transaksi atau kegiatan, bentuk usaha tetap, agen perusahaan luar negeri, dan Wajib Pajak orang pribadi (hanya memotong PPh Pasal 23 atas sewa dengan Surat Keputusan Penunjukan yang diterbitkan KPP). Sementara itu, penerima penghasilan terutang berdasarkan peraturan yang sama hanya berlaku untuk pihak Wajib Pajak Badan serta bentuk usaha tetap.

 

 

Jenis pendapatan yang terkena pasal ini

Di dalam PPh Pasal 23 juga diatur jenis pendapatan seperti apa saja yang dapat dikenakan pasal ini. Ini dia daftar jenis pendapatan tersebut:

 

  1. Bunga dengan jaminan pengembalian utang.
  2. Dividen.
  3. Royalti
  4. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain kepada orang pribadi.
  5. Sewa dari penghasilan lainnya yang sehubungan dengan pemakaian harta, kecuali sewa tanah dan bangunan
  6. Imbalan sehubungan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

 

Ringkasnya, hampir semua penghasilan dapat dipastikan terkena PPh Pasal 23 ini. Namun, penghasilan seperti penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayar untuk usaha dengan hak opsi, dan bagian laba yang diperoleh PT dalam negeri dengan persyaratan tertentu dikecualikan dari PPh Pasal 23.

 

 

Baca juga: Memahami tata cara pelaporan pph 23!

 

 

Tarif dan objek PPh Pasal 23

Berdasarkan PPh Pasal 23, tarif yang diterapkan merujuk juga pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif PPh dikenakan berdasarkan jumlah bruto penghasilan tersebut. Dalam PPh Pasal 23, ada dua jenis tarif yang berlaku, yakni tarif 2% dan tarif 15%.

 

Pendapatan yang dikenakan tarif 2% dari PPh adalah imbalan jasa dari manajemen konstruksi maupun konsultan, juga imbalan jasa sejenis seperti jasa hukum, akuntansi, arsitektur, perancang, penebangan hutan, penunjang penambangan, dan seterusnya. Selain dari dua tarif tadi, diterapkan pula regulasi opsional yang juga tercantum dalam PPh Pasal 23.

 

Lebih tepatnya, bila tidak memiliki NPWP, maka pemotongan yang diterapkan adalah 100% lebih tinggi dari tarif PPH. Termasuk juga seluruh jumlah bruto yang akan dikenakan tarif PPh Pasal 23 selain penghasilan yang berhubungan dengan jasa yang sudah dikenakan pajak dengan sifat mutlak atau final sebelumnya.

 

Lalu, pendapatan yang dikenakan tarif 15% dari PPh ini diberlakukan pada dividen, kecuali yang diberikan pada perorangan karena adanya bunga dan royalti. Tarif ini juga berlaku pada hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun, selama belum terpotong PPh Pasal 21.

 

 

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

 

 

Setelah mengetahui penjelasan lengkap PPh Pasal 23 ini, penting bagi Anda untuk memenuhi kewajiban pajak Anda sesuai dengan regulasi. Tidak perlu pusing, urusan perpajakan Anda bisa diselesaikan dengan mudah melalui aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

Cara Menghitung PPh Badan Terutang

cara menghitung PPh badan terutang

Bagi Wajib Pajak berupa badan, menghitung pajak penghasilan (PPh) menjadi hal penting dalam pelaporan pajak. Perhitungan PPh badan ini akan mendapatkan hasil atau gambaran berapa besaran pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan nantinya. Mengingat negara kita menganut asas self-assessment, maka Anda harus menghitung sendiri jumlah besaran pajak nantinya. Oleh karena itu, ada baiknya Anda simak cara menghitung PPh badan terutang berikut.

 

Peredaran bruto hingga Rp50 miliar

Wajib Pajak berupa badan yang berdomisili di dalam negeri dan memiliki peredaran bruto hingga Rp50 miliar berhak menerima pengurangan tarif 50% dari tarif yang termaktub dalam Undang-Undang PPh Pasal 17 Ayat (1) Huruf b dan Ayat (2a). Pemberlakuan pengurangan dikenakan untuk perusahaan dengan bruto hingga Rp4,8 miliar.

 

1. Perusahaan dengan bruto kurang dari Rp4,8 miliar

Untuk kasus ini, rumus yang digunakan adalah (50% x 25% x PKP). Contohnya, PT Angkasa pada tahun pajak 2019 memiliki peredaran bruto dengan jumlah Rp4,5 miliar. Sementara jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah Rp800 juta. Maka, jumlah perhitungannya adalah:

 

PPh Terutang = (50% x 25%) X Rp800 juta = Rp100 juta.

 

2. Perusahaan dengan bruto lebih dari Rp4,8 miliar hingga kurang dari Rp50 miliar 

Sementara untuk jenis yang kedua dapat dihitung menggunakan rumus [(50% x 25%) x PKP memperoleh fasilitas] + [25% x PKP tidak memperoleh fasilitas]. Dengan contoh PT Yemen di tahun pajak 2019 peredaran brutonya adalah Rp30 miliar dan perhitungan bagan penghasilan mendapatkan fasilitas yakni:

 

(Rp4.800.000.000 : Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000 = Rp480.000.000

Maka, jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto dan tidak mendapatkan fasilitas adalah:

Rp3.000.000.000 – Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000,-.

 

Maka PPh yang terutang yakni:

  • (50% x 25%) x Rp480.000.000 = Rp60.000.000
  • 25% x Rp2.520.000.000 = Rp630.000.000 +
  • Jumlah PPh Terutang = Rp690.000.000

 

 

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

 

 

Peredaran bruto di atas Rp50 miliar

Jika di atas adalah cara menghitung PPh badan terutang hingga Rp50 miliar, maka selanjutnya Anda perlu mengetahui perhitungan bagi badan dengan bruto di atas Rp50 miliar dari segi pendapatan brutonya. Di sini, ada peraturan atau ketentuan umum tanpa pengurangan tarif. Dengan kata lain, PPh terutang mulai tahun pajak 2010 sebesar 25% dikalikan dengan PKP.

Sebagai contoh, PT CDE di tahun 2019 lalu mencatatkan peredaran brutonya sebesar Rp60 miliar. Perhitungan PPh badan terutangnya adalah:

 

25% x Rp60 miliar = Rp1.5 miliar.

 

Cara menghitung PPh badan terutang yang berbentuk Perseroan Terbuka

Untuk Wajib Pajak yang berupa badan dan berbentuk Perseroan Terbuka (PT), akan mendapatkan penurunan tarif PPh 5% yang lebih rendah bila dibandingkan Wajib Pajak dalam negeri. Meski begitu, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:

 

  • Setidaknya memiliki 40% saham yang dicatat dalam Bursa Efek Indonesia untuk diperdagangkan. 
  • Paling tidak memiliki kepemilikan saham oleh 300 pihak publik, baik itu badan maupun pribadi.
  • Saham yang dimiliki masing-masing pihak hanya boleh kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor penuh dan harus dipenuhi dalam waktu 183 hari kalender dalam jangka satu tahun pajak.

Adapun contoh perhitungannya, PT ABC Tbk memiliki modal Rp1,5 miliar. Modal itu ditempatkan dan disetorkan penuh dengan besaran Rp1 miliar yang nilai nominal untuk setiap lembar sahamnya adalah Rp1.000. Jadi, total saham yang ditempatkan maupun disetor penuh adalah 1 juta lembar saham.

 

Kemudian, PT ABC Tbk ini mencatat 40% saham, yakni, 400 ribu lembar saham di Bursa Efek Indonesia yang dimiliki oleh 320 pihak dengan persentase kepemilikannya maksimal 4,99%. Kondisi ini dilakukan selama 183 hari kalender di satu tahun pajak. Jadi, PT ABC Tbk ini berhak mendapatkan penurunan tarif hingga 5% lebih rendah.

 

 

Baca juga: Mengenal Macam-macam Pajak di Indonesia.

 

 

Mulai tahun 2020 hingga tahun 2021, pemerintah melakukan pengurangan tarif PPh badan menjadi 22%, dan akan menjadi 20% ditahun 2022, dan untuk perseroan terbukan mendapatkan 3% dari tarif tersebut. Adaapun hitungannya sama seperti contoh diatas.

Setidaknya, itulah cara menghitung PPh badan terutang yang wajib Anda ketahui dalam melakukan penyetoran pajak pada setiap tahunnya. Jika cara menghitung manual dirasa cukup sulit dan memberatkan, maka kini Anda bisa menggunakan layanan aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

 

Mengenal Macam-macam Pajak di Indonesia

Keyword: Macam-macam pajak di Indonesia

Sebagai kontribusi wajib yang harus disetorkan Wajib Pajak, pajak dapat menjadi tulang punggung pendapatan negara. Perannya begitu besar dalam membantu pembangunan negara. Namun, tahukah Anda bahwa ternyata ada macam-macam pajak di Indonesia yang penting Anda ketahui? Secara umum, pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan daerah. Masing-masing memiliki beberapa jenis pajak lain yang lebih spesifik. Berikut perbedaannya.

 

 

Pajak Pusat

Sesuai namanya, pajak pusat adalah pajak yang dikelola pemerintah pusat dengan diwakili Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pajak pusat terbagi lagi menjadi lima jenis pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu:

 

 

1. Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah jenis pajak yang harus dibayar oleh individu atau badan atas penghasilan yang diperoleh selama suatu tahun pajak. Setiap penghasilan yang diterima Wajib Pajak, baik dari dalam maupun luar negeri, disebut juga dengan objek PPh. Penghasilan yang dimaksud dapat berupa gaji, keuntungan usaha, honorarium, dan semacamnya. Beberapa contoh jenis PPh yang berlaku di Indonesia adalah PPh Pasal 15, PPh Pasal 19, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 25.

 

 

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas perdagangan jual beli barang dan jasa yang dilakukan Wajib Pajak (individu maupun badan) yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Termasuk salah satu macam-macam pajak di Indonesia yang bersifat tidak langsung, PPN dilakukan antara produsen ke konsumen. Maksudnya, pihak yang berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah produsen. Namun, yang wajib membayar PPN adalah konsumen akhir.

 

 

3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

Sesuai namanya, PPnBM merupakan pajak penjualan yang dikenakan atas transaksi barang mewah yang didapatkan dari dalam maupun luar negeri. Dalam PPnBM, objek yang termasuk barang mewah adalah:

 

  • Barang yang bukan kebutuhan pokok
  • Barang yang dikonsumsi masyarakat tertentu
  • Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status
  • Barang yang pada umumnya dikonsumsi masyarakat dengan penghasilan tinggi

 

 

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak atas kepemilikan, pemanfaatan, dan/atau penguasaan atas tanah dan/atau bangunan disebut dengan PBB. Di Indonesia, PBB terbagi atas dua sektor, yaitu PBB Sektor P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang diadministrasikan pemerintah kabupaten/kota) serta PBB Sektor P3 (Pajak Bumi dan Bangunan Perhutanan, Pertambangan, dan Perkebunan yang diadministrasikan langsung oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak).

 

 

5. Bea Materai (BM)

BM termasuk macam-macam pajak di Indonesia yang dibebankan atas pemanfaatan dokumen, contohnya akta notaris, surat perjanjian, kwitansi pembayaran, hingga surat berharga yang memuat nominal uang di atas jumlah dan ketentuan tertentu. Nilai dari BM juga terbagi menjadi dua, yakni Rp3.000 dan Rp6.000, yang dapat digunakan sesuai kebutuhan.

 

 

Baca juga: Inilah cara menghitung bphtb yang benar!

 

 

Pajak Daerah

Sementara itu, pajak daerah mengacu pada pajak-pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah pada tingkat provinsi maupun kota/kabupaten yang diadministrasikan oleh Dinas atau Badan Pendapatan Daerah. Ini dia macam-macam pajak di Indonesia yang termasuk kategori pajak daerah:

 

  1. Pajak Provinsi
  2. Pajak Kabupaten/Kota
  3. Pajak Kendaraan Bermotor
  4. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
  5. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
  6. Pajak Rokok
  7. Pajak Air Permukaan
  8. Pajak Air Tanah
  9. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  10. Pajak Restoran
  11. Pajak Hotel
  12. Pajak Hiburan
  13. Pajak Parkir
  14. Pajak Penerangan Jalan
  15. Pajak Reklame
  16. Pajak Sarang Burung Walet
  17. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  18. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor dan Perkotaan
  19. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)

 

Baca juga: Mengenal Hak dan Kewajiban Wajib Pajak!

 

Itulah macam-macam pajak di Indonesia yang menjadi kontribusi wajib kepada negara berdasarkan Undang-undang. Pajak-pajak tersebut tak hanya menjadi salah satu sumber pemasukan utama keuangan negara, tetapi juga mampu menjadi alat untuk mengatur kebijakan sosial dan ekonomi hingga menstabilkan perekonomian. Penuhi kewajiban pajak Anda dengan praktis dan aman lewat aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

Yuk, Pahami Cara Lapor SPT Tahunan Badan Online!

Pahami Cara Lapor SPT Tahunan Badan Online

Melaporkan SPT tahunan bukan hanya jadi tanggung jawab Wajib Pajak pribadi, tapi juga badan. Selain dengan datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, perwakilan Wajib Pajak badan juga bisa mengurusnya melalui online di website DJP. Dengan begini, Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT tahunan badan kapan saja dan di mana saja. Berikut panduan cara lapor SPT tahunan badan online. 

 

Panduan daftar EFIN untuk E-Filing pajak

Langkah awal sebelum menerapkan cara lapor SPT tahunan badan online adalah mendapatkan EFIN untuk bisa mengisi E-Filing pajak. EFIN bisa Anda dapatkan dengan mendatangi KPP setempat. Setelah mendapatkan EFIN, lakukan aktivasi online melalui website DJP. Berikut langkahnya.

  1. Masuk ke laman DJP online. Isikan NPWP dan nomor EFIN yang telah didapatkan.
  2. Setelahnya, Anda akan dialihkan ke laman informasi mengenai Wajib Pajak yang telah terisi. Namun, untuk memastikan, sebaiknya cek lagi apakah data yang di-input sudah benar. 
  3. Lanjutkan tahap registrasi dengan mengisi alamat email aktif dan nomor ponsel. Setelah itu, buat password atau kata sandi dengan menggunakan kombinasi angka dan huruf. Klik ‘Simpan’.
  4. Cek email di mana tautan aktivasi EFIN akan dikirimkan oleh DJP. Klik tautan tersebut dan EFIN pun selesai diverifikasi.
  5. Anda siap melakukan pengisian laporan SPT tahunan badan online. 

 

Dokumen apa saja yang perlu diunggah saat pelaporan SPT badan

Tak cukup hanya dengan EFIN, cara lapor SPT tahunan badan online juga membutuhkan dokumen penting perusahaan yang harus disiapkan sebelumnya. Dokumen ini akan diunggah melalui laman DJP sehingga sebaiknya Anda siapkan dulu bentuk soft file-nya. 

  1. Formulir SPT 1771 untuk lapor SPT badan
  2. Laporan keuangan
  3. Laporan Penyampaian Country by Country Report
  4. Laporan Debt to Equity Ratio dan Utang Swasta Luar Negeri (khusus Wajib Pajak PT yang membebankan utang)
  5. Penghitungan Peredaran Bruto dan Pembayaran (khusus Wajib Pajak PP 46) 
  6. Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal (khusus Wajib Pajak dengan transaksi Hub Istimewa)
  7. Daftar nominatif (dafnom) biaya entertainment jika ada
  8. Dafnom biaya promosi jika ada
  9. Laporan Tahunan Penerimaan Negara, khusus Wajib Pajak Migas
  10. SSP PPh Pasal 26, Laporan Keuangan Konsolidasi/Kombinasi, dan Pemberitahuan Bentuk Penanaman Modal, khusus untuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). 

 

Cara lapor SPT tahunan badan online

Setelah Anda menyiapkan seluruh dokumen tadi dalam bentuk soft file, sekarang silakan lanjutkan ke langkah lapor SPT tahunan badan online melalui website DJP. Langkah-langkahnya ada di bawah ini.  

  1. Masuk ke akun E-Filing Anda di website DJP Online,  https://djponline.pajak.go.id/account/login
  2. Klik ‘E-Filing’ dan pilih ‘Buat SPT’ untuk mulai cara lapor SPT tahunan badan online. 
  3. Selanjutnya Anda akan diberikan beberapa pertanyaan terkait kondisi keuangan dan pendapatan badan. Isi pertanyaan ini dengan sebenar-benarnya agar sistem mampu menentukan jenis formulir SPT yang tepat sesuai profil Anda. 
  4. Kalau sudah menjawab pertanyaan, Anda akan dialihkan ke laman formulir pengisian data. Isi dan lengkapi formulir tersebut.
  5. Klik ‘Berikutnya’ dan Anda akan menerima ringkasan SPT serta pengambilan kode verifikasi. 
  6. Masukkan kode verifikasi yang telah Anda dapatkan melalui alamat email pendaftar ke kolom ‘Kolom Verifikasi’. Klik ‘Kirim SPT’ dan cara lapor SPT tahunan badan online pun selesai. 

 

Cara lapor SPT tahunan badan online sekarang sudah sangat mudah dengan mengakses dari laman DJP online. Tinggal menyiapkan file dokumen dan EFIN, Anda sudah bisa melaporkan SPT tahunan badan di mana saja dan kapan saja. Selain melalui DJP, lapor pajak dengan mengisi E-Filing juga dapat diakses dari Ayo! Pajak yang merupakan aplikasi pajak online untuk semua kalangan. Dengan Ayo! Pajak, melaporkan dan merevisi semua SPT bisa dilakukan mudah dan efisien.