Pengertian, Prinsip, dan Contoh Perhitungan Akuntansi Perpajakan

akuntansi perpajakan adalah

Akuntansi adalah hal yang sangat penting dalam dunia perpajakan, bahkan hampir setiap industri butuh akuntansi. Hal ini dibutuhkan untuk bisa membuat laporan perpajakan atau pembukuan yang akan membantu ketika audit atau pengecekan. Membuat semuanya terdata dengan baik. Bagi seorang tax officer atau akuntan pajak, pengetahuan ini tidak boleh ditinggalkan. Berikut ini adalah ulasan mengenai akuntansi pajak yang diharapkan bisa membantu Anda dalam memahaminya.

Pengertian dan Prinsip Akuntansi Perpajakan

Akuntansi perpajakan adalah cabang dari ilmu akuntansi Ilmu ini akan membahas segala hal mengenai pencatatan dan penyusunan laporan semua transaksi keuangan dalam mengetahui besarnya pajak yang harus dibayar Wajib Pajak (WP). Istilah akuntansi sendiri tidak berlaku sebelumnya di dunia perpajakan, lebih dikenal sebagai pembukuan. Namun seiring dengan perubahan zaman, sistem akuntansi menjadi kebutuhan tersendiri. Tidak ada hal signifikan yang membuat akuntansi pajak berbeda dengan akuntansi biasa, hanya saja laporan yang dihasilkan adalah laporan pajak.

Ada berbagai prinsip penting yang digunakan untuk bisa menghasilkan perhitungan yang tepat untuk akuntansi perpajakan. Prinsip tersebut adalah:

1. Kesatuan

Setiap perusahaan merupakan satu kesatuan ekonomi yang tidak dapat disatukan dengan entitas ekonomi lain. Seperti pemilik perusahaan atau lembaga lain yang secara hukum tidak memiliki hak.

2. Historis

Prinsip historis mewajibkan pencatatan keuangan yang real. Apabila perusahaan membeli sebuah aset seharga Rp200.000.000 tetapi dalam proses negosiasi akhirnya didapatkan harga Rp180.000.000, maka pencatatan yang harus dibukukan adalah senilai Rp180.000.000 karena inilah harga akhir yang dibayarkan.

3. Pengungkapan Penuh

Pencatatan aktivitas keuangan harus informatif dan detail. Setiap detail ini akan membantu. Tambahkan catatan kaki atau lampiran penting sebagai referensi.

Fungsi dari Akuntansi Perpajakan

Selain sebagai cara untuk bisa mengetahui seberapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak, ada beberapa fungsi lain yang dimiliki oleh akuntansi perpajakan ini. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

1. Perencanaan Strategis

Perencanaan strategis dalam urusan perpajakan masa depan akan semakin mudah. Data pembayaran pajak menjadi bahan penilaian untuk kinerja perusahaan dalam periode sebelumnya. Sehingga Anda akan dapat merencanakan bagaimana strategi kedepannya dalam urusan perpajakan.

2. Analisis

Berfungsi sebagai data yang bisa dianalisis. Berfungsi untuk mengetahui jumlah pajak yang menjadi tanggungan perusahaan di waktu mendatang. Proses pengurusan pajak akan semakin mudah.

3. Publikasi

Menjadi cara untuk bisa memberikan laporan keuangan untuk investor atau keperluan publikasi lainnya. Laporan pajak yang baik akan bisa memberikan perusahaan dinilai memiliki performa yang baik juga.

4. Pembanding

Dokumentasi mengenai data perpajakan setiap tahunnya akan sangat penting. Fungsinya adalah menjadi perbandingan yang bisa menunjukan perkembangan pajak dari tiap periode.

Baca juga: Unsur-unsur Pajak yang Berlaku di Indonesia

Contoh Perhitungan Akuntansi Perpajakan

Ada berbagai macam variabel yang harus dilengkapi sebelum menghitung besaran pajak yang harus dibayarkan. Mulai PKP, PPh, dan lain-lain. Kita ambil contoh menghitung pajak terutang.

Rumusnya adalah seperti berikut ini:

25% x PKP = PPh badan

PPh Badan – PPh – PPh Pasal 23 = utang pajak

PT A memiliki penghasilan kotor sekitar 50 miliar, dengan PPh sekitar 2 miliar, PPh Pasal 23 sebesar 1 miliar, dan pengeluaran sebanyak 200 miliar. Untuk mengetahui berapa PKP perusahaan, kurangi penghasilan kotor dengan pengeluaran.

Berdasarkan rumus tersebut berarti PKP PT Berkah: 50 miliar – 20 miliar = 30 miliar.

Jadi pajak terutang PT A adalah:

25% x 10 miliar = 7,5 miliar

7,5 miliar –2 miliar – 1 miliar = 4,5 miliar.

Itulah dia informasi mengenai akuntansi perpajakan. Semoga pengetahuan ini bisa membantu Anda dalam memahami apa itu akuntansi perpajakan. Manfatkan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda menjadi lebih mudah.

Banner General (kontak, download app)

Ikuti Cara Menghitung Debt to Equity Ratio

cara menghitung debt to equity ratio

Debt to equity ratio menunjukkan proporsi ekuitas dan hutang yang digunakan perusahaan untuk membiayai asetnya dan menunjukkan sejauh mana ekuitas seseorang dalam memenuhi kewajiban pajak. Diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa perhitungan pajak cukup sulit untuk dipahami secara umum. Namun berikut ini adalah informasi yang diharapkan bisa membantu Anda untuk memahami cara menghitung debt to equity ratio. Sehingga akan lebih paham dengan perhitungan pajak.

Cara Menghitung Debt to Equity Ratio

Debt to equity ratio ini adalah ukuran sejauh mana perusahaan membiayai operasinya melalui utang versus dana yang dimiliki sepenuhnya. Lebih khusus lagi, ini mencerminkan kemampuan ekuitas pemegang saham untuk menutupi semua hutang yang belum dibayar jika terjadi penurunan bisnis.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 ini akan membahas mengenai penentuan perbandingan antara utang dan modal sendiri dalam keperluan pengenaan pajak penghasilan. Sebelumnya, penetapan besarnya perbandingan utang dan modal setinggi-tingginya adalah tiga banding satu (3:1). Namun, peraturan ini sudah diperbarui pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Perbandingan saat ini menjadi empat banding satu (4:1). Keputusan dibuat untuk bisa mengembangkan dunia usaha menjadi lebih maju lagi. Pemerintah Indonesia memiliki batasan mengenai besarnya debt to equity ratio yang dianggap wajar. Demi menghindari perilaku penghindaran pajak penghasilan oleh Wajib Pajak. Situasi yang ingin dihindari adalah jika ada yang melaporkan tambahan modal dari pemilik sebagai hutang alih-alih sebagai ekuitas, guna memperbesar nilai biaya pinjaman sebagai pengurang pajak penghasilan. 

Pengecualian Debt to Equity Ratio

Berikut ini adalah daftar Wajib Pajak yang mendapat pengecualian untuk debt to equity ratio (DER). Seperti:

  • Wajib pajak bank.
  • Wajib pajak asuransi dan reasuransi.
  • Wajib pajak lembaga pembiayaan.
  • Wajib pajak dalam bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan pertambangan lain yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan dalam kontrak atau perjanjian yang dimaksud mengatur ketentuan batasan perbandingan antara utang dan modal.
  • Wajib pajak yang menjalankan usaha dalam bidang infrastruktur.
  • Wajib pajak yang seluruh penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. 

Baca juga: Informasi Tentang Proforma Invoice Dalam Transaksi Jual-Beli

Formula Debt to Equity Ratio

Dalam menghitung hal ini, ada formula yang bisa membantu Anda. Bentuknya adalah seperti ini:

Total Hutang / Total Ekuitas

Dalam berbisnis, utang sering digunakan untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Modal/ekuitas belum tentu bisa menjadi penjamin yang pasti ketika menjalankan suatu usaha atau perusahaan. Perusahaan akan sulit melakukan ekspansi bisnis yang membutuhkan modal lebih. Utang bisa membantu perusahaan untuk berkembang menjadi lebih jauh. Tetapi, ketika utang sudah mengalahkan ekuitas, maka masalah bisa terjadi. Ada resiko terjadinya kerugian. Debt to equity ratio berperan untuk tetap menjaga kestabilan suatu perusahaan.

DER juga menjadi kunci bagi investor untuk menilai perusahaan yang akan ditanamkan modal. Hutang lancar dan hutang jangka panjang menjadi poin utama dalam penilaian ini. Jika hutang lancar lebih besar dari pada utang jangka panjang, maka kondisi ini masih bisa dimaklumi. Utang lancar berarti utang operasi yang bersifat jangka pendek. Jika sebaliknya, maka akan ada pertimbangan yang matang sebelum menjadi investor dalam perusahaan tersebut.

Itulah sedikit penjelasan serta informasi cara menghitung debt to equity ratio. Semoga informasi yang satu ini bisa membantu dalam memahami mengenai DER ini. Gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda menjadi lebih mudah.

Banner General (kontak, download app)

Mengenal Perhitungan PPh Pasal 22

perhitungan pph pasal 22

Dalam kegiatan perdagangan barang, dikenal salah satu pajak yaitu PPh pasal 22. Pajak Penghasilan Pasal 22 ini akan dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan. Baik ekspor, impor dan re-impor. Banyaknya variasi objek, pemungut, dan bahkan tarifnya, membuat ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit. Jika dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Maka, berikut ini adalah informasi mengenai perhitungan PPh pasal 22. Semoga dengan informasi berikut ini Anda akan bisa terbantu dalam memahaminya.

Baca juga: PPh 22 Impor: Syarat, Bidang Usaha, dan Cara Mengajukan

Pengertian dan Perhitungan PPh Pasal 22

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) merupakan bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh satu pihak terhadap wajib pajak, berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. 

Diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan RI No. 92/PMK.03/2019, mengenai perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 membawa perubahan untuk PPh 22. Pemerintah melebarkan badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22. Menjadi wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Masih berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, objek dari pajak PPh 22 adalah barang yang menguntungkan. Baik untuk penjual ataupun pembeli dari transaksi tersebut. Secara spesifik, subjek pajak PPh Pasal 22 meliputi:

  • Badan Usaha (industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi)
  • Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)
  • Produsen atau importir bahan bakar minyak
  • Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja
  • Pedagang pengumpul (pengumpul hasil hutan, perkebunan, pertanian, dsb).
  • Penjual barang sangat mewah

Sementara yang akan berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah:

  • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
  • Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak terkait impor
  • Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
  • Bendahara Pemerintah yang melakukan pemungutan PPh Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi, serta lembaga negara lainnya yang terkait dengan pembayaran serta pembelian barang.

Baca juga: Informasi Pengecualian Pemungutan PPh 22

Menghitung Tarif PPh Pasal 22

Berikut ini adalah cara perhitungan PPh pasal 22

1. Tarif PPH pasal 22 Atas Impor

  • Menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
  • non-API = 7,5% x nilai impor;
  • yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final).

3. Penjualan hasil produksi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak:

  • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final.

5. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN).

6. Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.

7. Atas Penjualan Barang Sangat Mewah

  • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
  • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
  • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
  • Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
  • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Itulah cara penghitungan PPh pasal 22 bagi Anda yang masih bingung. Menghitung hal ini akan bisa membantu Anda merencanakan ketika ingin membeli barang mewah. Manfatkan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda menjadi lebih mudah.

Banner e-Faktur

Cara Menghitung PPn dan PPnBM dengan Mudah

Cara Menghitung PPn dan PPnBM dengan Mudah

Setiap transaksi yang dilakukan dalam proses jual beli barang dan jasa akan dikenakan pajak. Pajak ini disebut sebagai PPn atau Pajak Pertambahan Nilai. Untuk barang mewah, ada pajak tambahan yang harus ditambahkan, yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Kedua pajak ini menjadi hal yang harus diperhatikan. Untuk menghitung kedua jenis pajak ini, akan dibutuhkan cara tersendiri. Ketahui cara menghitung PPn dan PPnBM dengan mudah.

Cara Menghitung PPn dan PPnBM

Dalam ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013, perusahaan atau seorang pengusaha ditetapkan sebagai PKP, ketika transaksi penjualannya dapat melampaui jumlah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Seorang PKP wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPn yang terutang. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dilaporkan secara bersamaan dengan PPn. Jika masih berada dalam satu periode pajak yang sama. Sebelum kita masuk tentang cara menghitungnya, mari mencoba mengenal kedua jenis pajak ini secara lebih lanjut. 

Apa itu PPn?

PPn adalah pungutan yang akan dikenakan dalam transaksi jual beli barang atau jasa. Pelanggan akhir lah yang akan menanggung beban ini. Bisa dilihat pada setiap struk perbelanjaan, akan ada tulisan PPn atau Value Added Tax (VAT). Tetapi yang akan melaporkan mengenai hal ini adalah PKP tempat Anda berbelanja.

Objek yang terkena PPn adalah:

  • Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
  • Impor Barang Kena Pajak
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
  • Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Baca juga: Cara Menghitung Pajak PPn dan PPh dengan Tepat

Apa itu PPnB?

Sedangkan itu, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) menjadi pajak yang akan dikenakan khusus untuk barang mewah setelah PPn. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi. Sekaligus menjadi cara pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU PPN No. 42 Tahun 2009.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPn, PPnBM akan dikenakan terhadap beberapa barang berikut:

  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan BKP tergolong mewah dalam daerah pabean dari kegiatan usaha atau pekerjaannya.
  • Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.

PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Sehingga yang akan memungut PPnBM adalah pabrikan dari BPK mewah pada saat penyerahan atau penjualan. Untuk barang impor mewah, PPnBM akan dilunasi oleh importir bersamaan dengan PPn impor. PPnBM akan dipungut melalui faktur pajak.

Baca juga: Kebijakan Diskon Tarif PPnBM Untuk Sektor Otomotif

Menghitung PPn

Menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1. Tarif PPn (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).

2. Tarif PPn (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

  • Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
  • Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
  • Ekspor Jasa Kena Pajak

3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Untuk PPn, yang perlu dilakukan adalah mengalikan tarif PPn dengan harga barang. Jadi jika ada barang seharga Rp1.000.000 dengan PPn 10% maka:

10% x 1.000.000

= Rp100.000

Sehingga jumlah pajak pengeluaran yang harus dibayarkan adalah Rp100.000.

Menghitung PPnBM

Pengenaan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah digolongkan ke dalam beberapa kategori sebagai berikut ini:

  • Tarif 10% = Kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga, alat pendingin, hunian mewah, televisi, dan minuman non-alkohol.
  • Tarif 20% = Kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi, berbagai jenis permadani, peralatan olahraga impor, dan barang.
  • Tarif 25% = Kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya combi, pick up, dan minibus.
  • Tarif 35% = Minuman bebas alkohol, bahan berbahan kulit impor, batu kristal, bus, dan barang pecah belah.

Untuk menghitungnya digunakan rumus:

PPnBM terutang = DPP PPnBM X tarif pajak

Harga jual sedan diesel 1800 cc oleh PKP sebesar Rp220.000.000

PPn (10% X Rp220 juta) = Rp  22.000.000

PPnBM (40% X Rp220 juta) = Rp88.000.000

Total Harga jual termasuk PPn dan PPnBM = Rp330.000.000

Itulah dia cara menghitung PPn dan PPnBM yang bisa membantu Anda. Semoga informasi ini bisa bermanfaat. Jika membutuhkan bantuan mengenai perpajakan Anda, maka gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner e-Faktur

Pengertian, Manfaat, dan Cara Hitung NJOP

njop adalah

Ketika sedang berusaha ingin membeli rumah atau properti, ada satu jenis dokumen yang akan Anda jumpai. Hal ini cukup penting dalam hal perpajakan dari rumah atau properti yang ingin Anda beli. Biasa disebut sebagai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dokumen NJOP menjadi sangat penting untuk Anda pahami. Karena nantinya akan berkaitan dengan seberapa besar dana serta pajak yang akan ditanggung dari transaksi jual beli properti/rumah. Nah, untuk bisa memahami lebih lanjut mengenai hal ini, berikut adalah berbagai informasi berguna yang bisa membantu Anda.

Mengenal Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah dokumen legal penting layaknya akta jual beli dan sertifikat hak milik. Mencakup bumi dan bangunan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian dari NJOP adalah NJOP harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bisa juga jumlah taksiran harga bangunan dan tanah yang diperoleh dari perhitungan berdasarkan luas tanah dan bangunan. Namun,  jika tidak pernah terjadi jual beli, NJOP ini akan bisa ditentukan melalui perbandingan antara harga properti sejenis, nilai perolehan baru, dan NJOP pengganti.

NJOP menjadi penting karena berhubungan dengan Pajak Bumi dan Bangunan setelah transaksi selesai. Serta sebagai cara menentukan harga terendah dari properti. Maka akan sangat merugikan jika Anda tidak memahami hal ini ketika ingin membeli rumah atau properti.

Baca juga: Seluk Beluk Pajak Jual Beli Rumah

Manfaat dari NJOP adalah

Seperti yang sudah disebutkan di atas, beberapa manfaat dari hadirnya dokumen NJOP ini:

  • Mengetahui jumlah dana dan pajak yang mesti ditanggung dari transaksi jual beli rumah dan properti.
  • Mengetahui harga terendah rumah atau properti. Sehingga bisa memastikan apakah sebuah properti dijual terlalu mahal. Ataupun memastikan jika rumah dijual terlalu murah apakah karena ada masalah tertentu.

Manfaat yang sangat berguna ini menjadikan NJOP sebagai dokumen yang tidak boleh dilupakan dalam proses transaksi jual beli properti.

Baca juga: 3 Hal Utama Pajak Penjualan Rumah

Cara Menghitung NJOP

NJOP bisa berubah-ubah tergantung dengan naik turunya harga tanah dan properti bersangkutan. Harga properti yang berada di pusat kota tentu tidak sama dengan harga properti yang berada di pinggiran kota. Bisa saja kawasan yang berada di pinggiran kota atau sedikit pelosok dengan NJOP yang rendah akan mengalami kenaikan. Dipengaruhi oleh dengan semakin berkembangnya kawasan tersebut, karena harga tanah dan bangunan pun naik.

Berlandaskan UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, Bab V, Ayat 2, NJOP akan ditetapkan 3 tahun sekali melalui keputusan Menteri Keuangan. Pengecualian diberikan untuk daerah yang mengalami perkembangan cukup pesat. NJOP akan diubah setahun sekali. 

Anda juga dapat menentukan harga rumah berdasarkan NJOP. Ikuti langkah berikut ini untuk bisa menghitungnya.

Sebelumnya, Anda harus tahu ketiga hal berikut ini:

  • Cari tahu mengenai NJOP/meter tanah dan bangunan di lokasi rumah
  • Hitung total luas tanah
  • Hitung total luas bangunan

Setelah mencari tahu NJOP/meter dan luas tanah dan bangunan, maka terapkan rumus ini yang bisa membantu dalam menghitung NJOP.

  • Total harga tanah = luas tanah x NJOP/meter tanah
  • Total harga bangunan = luas bangunan x NJOP/meter bangunan 
  • Nilai jual rumah = nilai harga tanah + nilai harga bangunan

Itulah berbagai informasi mengenai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), semoga informasi ini bisa membantu Anda dalam kegiatan jual beli properti. Jika membutuhkan bantuan mengenai perpajakan Anda, maka gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)

Kode Faktur Pajak dan Penggunaannya

kode faktur pajak

PER-24/PJ/2012 adalah peraturan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengatur tentang ukuran, bentuk dan tata cara pengisian keterangan dan kode faktur pajak. Setiap  Pengusaha Kena Pajak (PKP) pasti sudah tidak asing dengan yang namanya faktur pajak. Dokumen yang satu ini digunakan dalam melakukan transaksi penjualan ataupun pembelian. PKP juga familiar dengan kode seri faktur pajak, karena setiap faktur pajak akan membuatnya. Jika masih belum terlalu mengenal kode seri ini, mari kita sama-sama mengenalnya disini.

Mengenal Kode Faktur Pajak

PER-24/PJ/2012 menjadi dasar dalam tata cara pengisian faktur pajak, termasuk nomor seri/kode faktur pajak. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah:

Format Kode Seri Faktur Pajak

Format kode seri faktur pajak terdiri dari 16 digit. Terdiri dari dua digit pertama yang menjadi kode transaksi, 1 digit berikutnya merupakan kode status dan 13 digit berikutnya adalah Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP). Ke-16 digit inilah yang akan digunakan dalam proses validasi faktur pajak yang dibuat PKP. Nomor ini bisa terdiri kombinasi angka, huruf, atau keduanya. Penerbitannya dilakukan satu kali per satu tahun pajak oleh Ditjen Pajak.

1. Kode Transaksi

Kode transaksi dalam kode seri faktur pajak terdiri dari beberapa bagian kode yang mewakili beberapa hal di antaranya:

  • 01 digunakan untuk penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN. PPN-nya dipungut oleh PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP.
  • 02 digunakan untuk penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN bendahara pemerintah yang PPN-nya dipungut oleh pemungut PPN bendahara pemerintah.
  • 03 digunakan untuk penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN lainnya (selain bendahara pemerintah) yang PPN-nya dipungut oleh pemungut PPN lainnya (selain bendahara pemerintah).
  • 04 digunakan untuk penyerahan BKP atau JKP yang menggunakan DPP nilai lain, yang PPN-nya dipungut oleh PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP.
  • 05 tidak digunakan dalam faktur pajak.
  • 06 digunakan dalam penyerahan lain yang PPN-nya dipungut oleh PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP serta penyerahan kepada orang pribadi yang memegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  • 07 digunakan dalam penyerahan BKP/JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut/ditanggung pemerintah (DTP).
  • 08 digunakan untuk penyerahan BKP/JKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
  • 09 digunakan untuk penyerahan aktiva pasal 16 D yang PPN-nya dipungut oleh PKP penjual.

2. Kode Status

Setelah 2 digit kode transaksi, selanjutnya ada 1 digit angka yang merupakan Kode Status. Kode status diisi dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 0 (nol) untuk status normal.
  • 1 (satu) untuk status penggantian.

Jika diterbitkan faktur pajak pengganti ke-2, ke-3 dan seterusnya, maka Kode Status yang digunakan tetap kode angka 1 (satu).

3. Nomor Seri Faktur Pajak

Berikutnya akan ada 13 angka. Merupakan nomor unik yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai identitas unik yang bisa PKP gunakan dalam membuat e-faktur.

Faktur pajak ini bisa dibuat secara manual atau dengan diketik sendiri atau membuatnya melalui e-Faktur. Aplikasi ini dapat diunduh di perangkat PC atau laptop yang bisa memudahkan PKP dalam membuat faktur pajak. Kunjungi halaman efaktur.pajak.go.id/aplikasi, unduh sesuai dengan sistem operasi PC atau laptop Anda. Install dan gunakan template yang sudah disediakan aplikasi ini.

Banner e-Faktur

Seperti itulah beberapa informasi penting mengenai kode faktur pajak yang bisa membantu Anda. Dengan memahami hal ini, maka Anda tidak akan kesusahan ketika harus membuat faktur pajak. Gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda menjadi lebih mudah.

Serba-serbi Informasi Penting Mengenai KLU Pajak Untuk Anda

klu pajak

Dalam mempermudah penyusunan data dari Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan yang namanya Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). Anda akan menjumpai hal ini ketika ingin mendaftar sebagai Wajib Pajak. Klasifikasi dilakukan dalam bentuk penggolongan dalam kategori tertentu, seperti Golongan Pokok, Golongan, Sub Golongan dan Kelompok Kegiatan Ekonomi. Melalui hal ini, proses pengurusan pajak akan menjadi lebih mudah untuk DJP ataupun wajib pajak. Mari mengenal berbagai informasi penting mengenai KLU ini.

Mari Mengenal KLU Pajak 

Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-321/PJ/2012, KLU memiliki fungsi sebagai berikut:

  1. Penatausahaan data Wajib Pajak, seperti data Kelompok Kegiatan Ekonomi Wajib Pajak dalam Master File Wajib Pajak dan Kelompok Kegiatan Ekonomi pada Surat Pemberitahuan;
  2. Dasar penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Netto;
  3. Berbagai macam keperluan lainnya.

Kode KLU ini akan bisa Anda temukan dalam Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP). Selain pada kedua tempat di atas temukan, kode KLU juga terdapat pada formulir SPT Tahunan saat mengisi data wajib.

Struktur Kode KLU

Dalam lampiran I KEP-321/PJ/2012, dijelaskan bagaimana struktur dari KLU ini. KLU menggunakan kode angka sebanyak 5 (lima) digit. Dengan satu digit berupa kode alfabet yang disebut kategori. Kode alfabet ini tidak menjadi bagian dari kode KLU, namun digunakan untuk memudahkan penyusunan tabulasi sektor atau lapangan usaha utama.

Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib yang berbentuk 5 (lima) digit akan menunjukkan Golongan Pokok, Golongan, Subgolongan dan Kelompok Kegiatan Ekonomi dengan struktur sebagai berikut:

  • Kode Golongan Pokok, adalah dua digit pertama dari KLU
  • Kode Golongan, adalah tiga digit pertama dari KLU
  • Kode Subgolongan, adalah empat digit pertama dari KLU
  • Kode Kelompok , terdiri atas lima digit dan berfungsi sebagai kode KLU Wajib Pajak

Kategori KLU

Pengkodean KLU pajak dibagi menjadi 21 jenis kategori yang akan menggolongkan seluruh kegiatan ekonomi di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kode ini akan berbentuk alfabet. Kode yang digunakan adalah:

  • Kategori A yaitu Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
  • Kategori B yaitu Pertambangan dan Penggalian
  • Kategori C yaitu Industri Pengolahan
  • Kategori D yaitu Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas dan Udara Dingin
  • Kategori E yaitu Pengadaan Air,Pengelolaan Sampah dan Daur Ulang, Pembuangan dan Pembersihan Limbah dan Sampah
  • Kategori F yaitu Konstruksi
  • Kategori G yaitu Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor
  • Kategori H yaitu Transportasi dan Pergudangan
  • Kategori I yaitu Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum
  • Kategori J yaitu Informasi dan Komunikasi
  • Kategori K yaitu Jasa Keuangan dan Asuransi
  • Kategori L yaitu Real Estate
  • Kategori M yaitu Jasa Profesional, Ilmiah dan Teknis
  • Kategori N yaitu Jasa Persewaan, Ketenagakerjaan, Agen Perjalanan dan Penunjang Usaha Lainnya
  • Kategori O yaitu Administrasi Pemerintahan, dan Jaminan Sosial Wajib
  • Kategori P yaitu Jasa Pendidikan
  • Kategori Q yaitu Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
  • Kategori R yaitu Kebudayaan, Hiburan dan Rekreasi
  • Kategori S yaitu Kegiatan Jasa Lainnya
  • Kategori T yaitu Jasa Perorangan Yang Melayani Rumah Tangga, Kegiatan Yang menghasilkan Barang dan Jasa
  • Kategori U yaitu Kegiatan Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya

Itulah dia informasi mengenai KLU Pajak yang bisa berguna untuk Anda. Semoga informasi ini bisa berguna. Jika membutuhkan bantuan mengenai perpajakan Anda, maka gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)

Kategori dan Kode Klu Pajak

kode klu pajak

Pernahkah Anda mendengar mengenai kode KLU pajak? Setelah wabah pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia, pemerintah menetapkan pemberian insentif perpajakan untuk beberapa bidang usaha tertentu yang masuk ke dalam Klasifikasi Lapangan Usaha. Bagi bidang usaha yang tidak terdaftar di dalam KLU, maka mereka tidak bisa mendapatkan insentif pajak tersebut. 

Namun, ternyata masih banyak orang yang belum paham mengenai apa itu KLU pajak sehingga melalui artikel ini, AyoPajak akan membahas secara rinci mengenai apa itu KLU dan struktur kode KLU yang penting untuk diketahui.

Pengertian KLU Pajak

KLU atau yang kepanjangannya adalah Klasifikasi Lapangan Usaha, merupakan kode pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengelompokkan Wajib Pajak Badan sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan. KLU pajak ini diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-321/PJ/2020 dan terbagi ke dalam 3 klasifikasi yaitu golongan pokok, sub golongan, dan kelompok kegiatan ekonomi. 

Klasifikasi KLU pajak ini dilakukan untuk beberapa tujuan sesuai yang diatur dalam KEP-321/PJ/2020, yaitu:

  1. Penatausahaan data Wajib Pajak, seperti data Kelompok Kegiatan Ekonomi Wajib Pajak dalam master file Wajib Pajak dan Kelompok Kegiatan Ekonomi pada Surat Pemberitahuan;
  2. Dasar penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  3. Keperluan lainnya.

Baca juga: 6 Insentif Pajak yang Diperpanjang Hingga 2021

Memahami Struktur Kode KLU Pajak

Pemberian kode KLU pajak terdiri atas beberapa hal yaitu yang pertama adalah kategori yang dimasukkan ke dalam kode alfabet dan kemudian ditambahkan kode angka di belakangnya yang melambangkan golongan dari bidang usaha tersebut. Simak informasi lengkapnya berikut ini mengenai kategori dan kode KLU pajak: 

1. Kategori Klasifikasi Lapangan Usaha

Kategori KLU terdiri dari 21 kategori yang ditandai dengan alfabet A hingga U. Bagi usaha yang belum pasti keterbatasannya maka akan dikategorikan ke dalam alfabet X. Berikut ini rincian kode alfabet beserta kategori KLU yang termasuk ke dalamnya, yaitu:

  • A: Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
  • B: Pertambangan dan Penggalian
  • C: Industri Pengolahan
  • D: Pengadaan Listrik, Gas, Uap atau Air Panas dan Udara Dingin
  • E: Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah dan Daur Ulang, Pembuangan dan Pembersihan Limbah dan Sampah
  • F: Konstruksi
  • G: Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor
  • H: Transportasi dan Pergudangan
  • I: Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum
  • J: Informasi dan Komunikasi
  • K: Jasa Keuangan dan Asuransi
  • L: Real Estate
  • M: Jasa Profesional, Ilmiah, dan Teknis
  • N: Jasa Persewaan Ketenagakerjaan, Agen Perjalanan dan Penunjang Usaha Lainnya
  • O: Administrasi Pemerintahan dan Jaminan Sosial Wajib
  • P: Jasa Pendidikan
  • Q: Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
  • R: Kebudayaan, Hiburan, dan Rekreasi
  • S: Kegiatan Jasa Lainnya
  • T: Jasa Perorangan yang Melayani Rumah Tangga; Kegiatan yang Menghasilkan Barang dan Jasa oleh Rumah Tangga yang Digunakan Sendiri untuk Memenuhi Kebutuhan
  • U: Kegiatan Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya
  • X: Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya

2. Golongan Klasifikasi Lapangan Usaha

Dalam pemberian kode KLU pajak, setelah suatu bidang usaha diketahui kategorinya, maka selanjutnya adalah mengetahui golongan dari bidang usaha tersebut. Adapun klasifikasi sebuah bidang usaha berdasarkan golongannya, yaitu sebagai berikut:

  • Golongan Pokok: Klasifikasi pada golongan pokok merupakan klasifikasi lebih lanjut setelah kategori di mana setiap bidang usaha akan dilihat berdasarkan perbedaan sifatnya, Tiap bidang usaha bisa mendapatkan maksimal 5 golongan pokok, kecuali untuk industri pengolahan.
  • Golongan: Golongan terdiri dari kelompok yang lebih lanjut setelah golongan pokok dan memiliki 3 angka yang masing-masing terdiri dari: 2 angka pertama termasuk ke dalam golongan pokok dan/atau 1 angka terakhir merupakan kegiatan ekonomi setiap golongan terkait.
  • Sub Golongan: Setelah golongan pokok dan golongan, maka selanjutnya adalah sub golongan yang merupakan uraian lanjutan dari kedua klasifikasi sebelumnya.
  • Kelompok Kegiatan Ekonomi: Tahap klasifikasi yang terakhir dalam golongan adalah kelompok kegiatan ekonomi di mana sebuah bidang usaha akan diklasifikasi berdasarkan kegiatan usahanya menjadi lebih homogen.

Itulah struktur kode KLU pajak yang perlu diketahui dan jika Anda ingin mengetahui seputar kode KLU bidang usaha yang dijalankan atau pendaftaran kode KLU ke Direktorat Jenderal Pajak, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

Banner General (kontak, download app)

6 Insentif Pajak yang Diperpanjang Hingga 2021

insentif pajak adalah

Insentif pajak adalah merupakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 yang dikeluarkan ketika wabah COVID-19 muncul di Indonesia. Situasi pandemi COVID-19 melumpuhkan hampir sebagian besar kegiatan perekonomian di Indonesia. Banyak pegawai yang terpaksa di-PHK karena perusahaan tidak mampu untuk membayar gaji mereka. Tidak hanya itu, beberapa perusahaan pun juga terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menghadapi krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi ini. Oleh karena itu, melihat situasi ekonomi yang terus menurun, pemerintah melalui menteri keuangan mencanangkan intensif pajak guna mendorong roda perekonomian negara.

Sebelumnya, pemberian insentif ini berlangsung selama 6 bulan, yaitu dari bulan April hingga September 2020. Akan tetapi, insentif pajak ini diberlakukan kembali hingga 2021 melihat situasi pandemi COVID-19 yang tidak kunjung turun. Dibawah ini merupakan insentif pajak adalah yang masih diberlakukan hingga tahun 2021? Simak pembahasannya di bawah ini.

Apa Saja Insentif Pajak yang Diperpanjang Hingga Tahun 2021?

Pada tahun 2021, ada 6 insentif pajak yang diperpanjang, yaitu sebagai berikut:

1. PPh Pasal 21

Bagi pegawai yang sudah memiliki NPWP dan berpenghasilan bruto tidak lebih dari 200 juta rupiah dalam setahun atau setidaknya tidak lebih dari 16,6 juta rupiah per bulan, maka pegawai tersebut berhak mendapatkan insentif PPh pasal 21. Insentif pajak ini akan diperpanjang hingga tanggal 30 Juni 2021. Peraturan ini tercantum dalam PMK nomor 9/2021.

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

2. PPh Pasal 23

Bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak pandemi COVID-19 maka berhak untuk mendapatkan insentif PPh 23 atau dibebaskan dari kewajiban perpajakan hingga tanggal 30 Juni 2021. Adapun kriteria dari pelaku UMKM adalah mereka yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan berbentuk koperasi, CV, firma, atau perseroan terbatas (PT) yang memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun. Peraturan mengenai kriteria UMKM tercantum dalam PP 23 tahun 2018.

Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23

3. PPh Final Jasa Konstruksi

Bagi para pengusaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 juga akan dibebaskan dari pajak penghasilan dan seluruh pajak tersebut akan ditanggung oleh pemerintah. Pengusaha jasa konstruksi yang dapat menerima insentif pajak ini adalah mereka yang terdaftar dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI).

4. PPh Pasal 22 Impor

Bagi para importir tertentu, pemerintah juga akan memberikan insentif pajak berupa pembebasan pemungutan PPh pasal 22 impor untuk 730 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat. Peraturan ini dapat dilihat dalam PMK 9/2021 dan hanya berlaku bagi Wajib Pajak yang memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU).

Baca juga: Informasi Pengecualian Pemungutan PPh 22

5. PPh Pasal 25

Bagi Wajib Pajak yang menjalankan salah satu usaha dari 1.018 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat sesuai yang tercantum dalam PMK 9/2021 akan mendapatkan insentif pajak berupa pengurangan angsuran PPh pasal 25 sebesar 50% dari angsuran yang seharusnya terutang. 

Baca juga: Ketentuan Dalam PPh Pasal 25

6. PPN 

Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan mendapatkan insentif pajak berupa restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp5 miliar. Persyaratan PKP yang dapat menerima insentif pajak tersebut harus termasuk ke dalam salah satu dari 725 bidang usaha tertentu yang diatur dalam lampiran PMK 9/2021.

Banner General (kontak, download app)

Jadi, itulah 6 insentif pajak yang diperpanjang hingga 2021 dan bisa Anda dapatkan apabila termasuk ke dalam kriteria penerima insentif pajak tersebut. Apabila Anda ingin mengetahui lebih jelas mengenai insentif pajak adalah ini dan bagaimana cara untuk mendapatkannya, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

Seluk Beluk Pajak Jual Beli Rumah

pajak jual beli rumah

Sebelum memutuskan untuk menjual atau membeli rumah, Anda harus terlebih dahulu memahami seluk beluk pajak jual beli rumah. Apa saja pajak yang harus ditanggung oleh penjual rumah dan apa saja pajak yang harus ditanggung oleh pembeli rumah? Selain itu, biaya apa saja yang harus Anda keluarkan apabila ingin membeli rumah?

Melalui artikel ini, AyoPajak akan membahas secara rinci mengenai pajak jual beli rumah yang perlu Anda ketahui beserta biaya apa saja yang perlu dikeluarkan.

Pajak Jual Beli Rumah

Berikut ini merupakan pembahasan lengkap mengenai pajak yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak penjual dan pihak pembeli rumah, yaitu:

1. Pajak yang Ditanggung Penjual

Bagi Anda yang ingin menjual rumah dan rumah tersebut bukan merupakan warisan, maka ada dua jenis pajak yang perlu dibayarkan. Kedua pajak tersebut adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan juga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Ketika menjual rumah, Anda akan menerima uang hasil transaksi dan penghasilan tersebut, sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 34 tahun 2016 tentang Tarif Baru PPh final atas Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan, maka akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 2,5%. Pembayaran PPh ini harus dilakukan sebelum Akta Jual Beli diterbitkan.

Lalu untuk Pajak Bumi atau Bangunan, Anda harus membayarkan sebesar 0.5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang sudah dikalikan dengan NJOP. Anda harus melakukan kewajiban pembayaran PBB ini sebelum rumah dialihkan kepada pihak pembeli.

Baca juga: Memahami Cara Mendapatkan SPPT PBB

2. Pajak yang Ditanggung Pembeli

Apabila Anda merupakan pihak pembeli rumah, maka pajak yang perlu dibayarkan adalah Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dengan tarif 10%. Pembayaran PPN ini bisa langsung dibayarkan ketika transaksi jual beli berlangsung dengan pihak developer atau perusahaan yang terdaftar sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Jika pihak penjual merupakan pihak non-PKP, maka Anda harus membayar PPN langsung kepada negara. 

Biaya Tambahan yang Ditanggung Pembeli

Saat Anda memutuskan untuk membeli rumah, maka ada beberapa biaya yang perlu dipersiapkan. Berikut ini merupakan rincian biaya tambahan yang perlu dipersiapkan, yaitu:

1. Biaya Pembuatan Akta Jual Beli

PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah biasanya akan mengenakan biaya pembuatan Akta Jual Beli sebesar 1% dari nilai transaksi jual beli rumah. Namun tak jarang ada beberapa pihak yang mengenakan biaya pembuatan Akta Jual Beli lebih dari 1% sehingga dengan demikian, Anda dapat mencoba untuk melakukan negosiasi terutama untuk pembelian unit rumah yang memiliki harga tinggi.

2. Biaya Balik Nama Sertifikat

Ketika Anda membeli sebuah rumah, tentunya akan ada perubahan nama sertifikat milik yang perlu diperbaiki. Untuk melakukan balik nama sertifikat tersebut, Anda akan dikenakan setidaknya 2% dari nilai transaksi jual beli rumah atau sesuai dengan peraturan pemerintah daerah yang berlaku.

3. Biaya Cek Sertifikat

Anda juga perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan pengecekan legalitas sertifikat rumah yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan guna mencegah hal yang tidak diinginkan ketika Anda akan membeli rumah. Biaya yang dikeluarkan untuk cek sertifikat biasanya mencapai Rp100.000.

4 . Biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Biaya terakhir yang perlu Anda keluarkan saat membeli rumah adalah BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Biaya yang dikeluarkan untuk BPHTB ini mencapai 5% dari harga penjualan rumah dan dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). 

Baca juga: Inilah Cara Menghitung BPHTB yang Benar

Jadi, sekarang Anda sudah memahami bukan mengenai seluk beluk pajak jual beli rumah dan biaya apa saja yang diperlukan apabila ingin membeli rumah? Jika Anda pertanyaan lebih lanjut seputar perpajakan jual beli rumah ataupun pelaporan pajak tahunan untuk rumah, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

Banner General (kontak, download app)