Apa itu PPh Pasal 22? Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2018, Pajak Penghasilan atau PPh Pasal 22 merupakan upaya pemotongan atau pemungutan pajak yang yang berkaitan dengan bisnis perdagangan barang. PPh Pasal 22 dikenakan pada badan usaha tertentu saja, baik itu badan usaha milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan ekspor, impor, dan/atau re-impor (barang ekspor yang diimpor kembali).
Tak hanya kegiatan ekspor dan impor, PPh pasal 22 juga mengatur penjualan barang dagangan yang tergolong sangat mewah. Ketentuan ini dapat ditemukan di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas PMK 253/PMK.03/2008. Melalui peraturan terbaru ini, pemerintah semakin melebarkan cakupan badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22.
Baca juga: Pengertian PPh Final Pasal 4 Ayat 2
PPh Pasal 22 memiliki cakupan Objek Pajak yang cukup luas dalam segi impor maupun ekspor dan juga barang mewah. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan adalah tidak semua barang yang diimpor ataupun diekspor termasuk dalam cakupan PPh Pasal 22. Begitu juga dengan pungutan barang sangat mewah. Mari teliti lebih lanjut terkait pengecualian-pengecualian PPh Pasal 22 di bawah ini:
1. UU Pajak Penghasilan tidak terutang
Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan. Pengecualian atas impor barang ini harus disertai dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2. Bebas Bea Masuk atau Pajak Pertambahan Nilai
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai.
3. Impor sementara
Impor barang tersebut dimaksudkan untuk melakukan diekspor kembali.
4. Re-impor
Re-impor yang meliputi barang-barang yang sudah diekspor lalu diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang yang sudah diekspor untuk diperbaiki, dikerjakan kembali, dan diuji yang sudah memenuhi syarat sesuai dengan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
5. Pembayaran pemungut pajak
Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak seperti:
- Bendahara Pemerintah & Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang didelegasikan oleh KPA, yang jumlahnya maksimal Rp2 juta dan tidak merupakan pembayaran yang dipecah.
- pembayaran dari pemungut pajak seperti BUMN tertentu dan Bank BUMN yang jumlahnya maksimal Rp10 juta dan tidak merupakan pembayaran yang dipecah.
- Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos, dan juga pemakaian air dan listrik.
6. Emas batangan
Pengecualian PPh Pasal 22 juga terjadi pada emas batangan yang akan dibuat menjadi perhiasan emas untuk diekspor.
7. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Pembayaran atas pengadaan barang yang berhubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23
Perlu diketahui bahwa pengecualian seperti yang tertera di poin nomor 1 dan 6 memerlukan SKB yang diterbitkan oleh DJP, sementara pengecualian di poin nomor 4, 5, dan 7 bisa diterapkan tanpa memerlukan SKB.
Setelah mengetahui cakupan pengecualian PPh Pasal 22, Wajib Pajak diharapkan untuk bisa melaporkan SPT PPh Pasal 22 yang bersifat self-assessment dengan lebih akurat. Hal ini juga memperbolehkan Wajib Pajak untuk menerbitkan bukti pungut yang sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam PPh Pasal 22. Nantinya, bukti pungut yang diterbitkan akan dijadikan kredit akhir tahun di SPT Tahunan bagi pihak yang dipungut.Â
Jangan lupa, batas pelaporan SPT PPh Pasal 22 itu setiap tanggal 20 di bulan berikutnya. Keterlambatan lapor SPT PPh Pasal 22 bisa dikenakan sanksi administrasi, lho. Agar tidak mengalami keterlambatan dalam melapor, Wajib Pajak bisa melapor secara online menggunakan fasilitas e-filing yang disediakan oleh AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP. Tunggu apa lagi? Segera daftarkan badan usaha Anda di AyoPajak.
Â