oleh Irwan Wisanggeni, Mahasiswa Program Doktoral Akuntansi Universitas Trisakti
Pedagang eceran atau pedagang yang langsung menjual barang ke konsumen akhir kerap kali disebut bisnis ritel. Peran besar bisnis ini dalam membantu menyerap tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik melaporkan, lapangan usaha atau perusahaan yang berhasil menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia berasal dari usaha perdagangan besar dan eceran. yaitu sebanyak 22,4 juta orang, atau 31,81 persen dari tenaga kerja yang ada di Indonesia. Sektor tersebut, termasuk tiga terbesar penyumbang lapangan usaha. Jelas sekali jumlah pedagang cukup besar di Indonesia dan ada disektor barang dan jasa. Yuk baca selengkapnya mengenai pajak yang ditetapkan pada pedagang eceran dibawah ini.
Dalam peraturan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kriteria pedagang eceran tercantum didalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012 Pasal 20, dijabarkan sebagai berikut, pengusaha kena pajak yang dalam kegiatan usahanya melakukan penyerahan barang kena pajak dengan cara, pertama melalui tempat penjualan eceran langsung dan mendatangi konsumen akhir, kedua, tanpa penawaran tertulis, pesanan dan kontrak tertulis atau lelang, ketiga pada umumnya transaksi dilakukan secara tunai dan pembeli langsung membawa barang yang dibelinya.
Kemudahan perpajakan yang diberikan kepada pedagang eceran dengan diizinkan untuk menerbitkan faktur pajak secara digunggung, arti dari digunggung disini faktur pajak yang tidak diisi dengan nama/identitas pembeli dan tanda tangan penjual. Faktur pajak jenis ini hanya digunakan oleh mereka yang menjadi pedagang eceran, dasar hukum dari pembuatan faktur pajak di gunggung di Peraturan Dirjen Pajak ( PER Dirjen) nomor 29 pada pasal 7.
Baca juga: Kewajiban dari Pajak UMKM
Jika bukan dari pedagang eceran namun pengusaha kena pajak menerbitkan faktur pajak secara digungung hal ini akan dianggap faktur pajak tersebut tidak lengkap berdasarkan PER Dirjen nomor 24 tahun 2012 dengan sanksi 2 persen dari dasar pengenaan pajak (DPP), sanksi ini berubah menjadi 1 persen dari dasar penggenaan pajak (DPP) di UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 cluster perpajakan.
Persoalan muncul ketika pengusaha kena pajak yang bukan eceran melalui digital (e-commerce) yang sulit mendapatkan indentitas pembeli barang atau jasa, sehingga pedagang yang bukan eceran melalui jalur digital karena kesulitan menerbitkan faktur pajak dengan indentitas yang jelas dari cara perdagangan ini dan pengusaha kena pajak mungkin akan mengambil solusi menggunakan faktur pajak digunggung. Potensi sanksi pajak yang akan di kenai kepada mereka atas transaksi tersebut yaitu saksi 1 persen dari dasar pengenaan pajak (DPP).
Selain itu dalam kasus lainya adalah pedagang besar atau pabrikan melakukan penjualan eceran saat dia bertransaksi dengan konsumen akhir atau saat mereka mengadakan bazar dimana produk pedagang besar dan pabrikan akan dijual langsung ke konsumen akhir yang sulit diminta indentitasnya sehingga mereka menggunakan cara faktur pajak digunggung. Hal ini akan menimbulkan konsekwensi sanksi 1 persen dari dasar pengenaan pajak.
Dalam kasus diatas mungkin pengusaha kena pajak yang bukan pedagang eceran menempuh jalur membuat faktur pajak (tanpa digunggung) namun tidak mencantumkan indentitas wajib pajaknya, Kondisi seperti ini sebenarnya juga masuk kriteria faktur pajak tidak lengkap sesuai dengan Istilah faktur pajak lengkap dan faktur pajak tidak lengkap sebenarnya merujuk pada pasal 13 ayat 5 UU PPN yang menjelaskan, faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dapat digunakan sebagai sarana mengkreditkan pajak masukan yang harus diisi secara lengkap. Petunjuk pelaksanaan atas pembuatan faktur lengkap diatur melalui pasal 5 pada PER 24/PJ/2012.
Sedangkan yang masuk kriteria faktur pajak tidak lengkap yaitu Faktur pajak tidak diisi secara lengkap, jelas dan benar. Faktur pajak tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat yang ditunjuk PKP untuk menandatangani sesuai dengan prosedur. PKP membuat faktur pajak menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak (NFSP) ganda/nomor seri yang sama dalam tahun pajak yang sama. Semua faktur pajak dengan nomor seri Faktur Pajak tersebut masuk dalam kategori faktur pajak tidak lengkap. Kode dan nomor seri faktur pajak yang diisi PKP tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh PER-24/PJ/2012. Faktur pajak terlambat dilaporkan kepada kepala KPP tempat PKP yang melaporkan dikukuhkan. Keterlambatan pelaporan faktur pajak ini menyebabkan faktur pajak dianggap tidak lengkap sampai diterimanya pemberitahuan. Jika semua ini terjadi maka potensi sanksi 1 persen dari dasar pengenaan pajak (DPP).
Baca juga: Mekanisme Perhitungan PPh Badan
Pengusaha kena pajak akan mengalami kesulitan ketika pembelinya adalah konsumen akhir dalam beberapa kondisi yaitu pedagang besar tapi sebagian dagangnya retail, pedagang e-comerce, sehingga akan membuat high cost dikarenakan adanya potensi sanksi denda 1 persen dari dasar pengenaan pajak. Jika pengusaha kena pajak membebankan potensi sanksi tersebut pada harga pokok barang hal ini membuat barang tersebut menjadi mahal sehingga membebani masyarakat dan akan menyumbang inflasi dirana ekonomi makro.
Biaya Pajak
Teori pajak supply side tax policy menjelaskan kebijakan perpajakan yang pada akhirnya menurunkan “cost of taxation (biaya pajak) ” sehingga mampu mendorong produktivitas yang tinggi. Biaya pajak yang tinggi akan mempersempit ruang bagi pelaku usaha untuk berproduksi sehingga mengurangi supply. Berangkat dari teori kontemporer ini seyogyanya ada solusi untuk persoalan faktur pajak digunggung bagi yang hanya sebagian melakukan jualan eceran dan juga bagi pelaku pedagang e commerce. Sehingga sanksi tidak memberatkan dan tidak berujung memberatkan pengusaha kena pajak yang tentunya harga tersebut akan dipantulkan ke harga barang dan hal ini akan memberatkan masyarakat.
Kebijakan supply-side tax policy di atas pun memiliki keunggulan lainnya, yang dapat diwujudkan tanpa harus menggenyampingkan aspek penerimaan negara. Melainkan negara akan mendapatkan penerimaan pajak yang lebih besar dengan adanya peningkatan produksi tersebut.