Sebenarnya, apa itu pajak hibah? Apakah ketika kita memberikan hibah, kita juga akan dikenakan pajak? Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 1666 hingga Pasal 1693, hibah adalah suatu perjanjian di mana si pemberi secara cuma-cuma dan sadar menyerahkan benda kepada penerima hibah. Pemberian dan penerimaan hibah hanya akan sah jika kedua belah pihak masih hidup. Jika pemberian harta hibah dilakukan setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka pemberian tersebut menjadi hibah wasiat.
Baca juga: Mengenal Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Memahami Pajak Hibah
Dipandang dari sisi pajak, hibah menjadi Objek Pajak yang menimbulkan status kewajiban pajak bagi sang penerima hibah. Pemberian dalam bentuk hibah bisa dikenakan pajak karena penerimaan hibah dianggap sebagai bentuk penghasilan bagi penerima hibah, sehingga penerima diwajibkan untuk membayarkan pajak penghasilan atas hibah tersebut. Namun, tak semua pemberian hibah menjadi Objek Pajak. Menurut PMK No. 245/PMK.03/2008, terdapat lima sumber penerimaan yang dibebaskan dari pajak hibah, yaitu:
- Keluarga sedarah yang masih dalam satu garis keturunan sederajat, seperti hubungan anak dan orang tua kandung. Jadi, jika hibah diberikan oleh orang tua ke anak kandung, maka hibah tersebut tidak menjadi objek pajak PPh. Lain halnya dengan pemberian hibah dari kakak kandung ke adik kandung atau dari menantu ke mertua, maka hibah tersebut menjadi Objek Pajak PPh.
- Badan atau organisasi keagamaan yang mengurus tempat ibadah dan tidak melakukan aktivitas yang mencari keuntungan. Ketika badan keagamaan ini menerima keuntungan, maka pemberian dari badan keagamaan ini menjadi Objek Pajak PPh.
- Lembaga pendidikan yang hanya melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa mencari keuntungan. Apabila badan pendidikan melakukan kegiatan untuk mencari keuntungan, maka penerimaan tersebut akan menjadi objek pajak PPh.
- Badan sosial, termasuk yayasan dan koperasi, yang hanya melakukan kegiatan amal seperti:
- Pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup orang lanjut usia (panti jompo).
- Pemeliharaan orang terlantar, kaum difabel, atau anak yatim piatu.
- Santunan dan/atau pertolongan untuk korban kecelakaan, bencana alam, dan sejenisnya.
- Beasiswa pendidikan.
- Pelestarian flora dan fauna.
- Kegiatan sosial lainnya.
- Orang pribadi yang memiliki atau menjalankan UMKM dengan syarat:
- Memiliki kekayaan bersih <Rp500.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Memiliki hasil penjualan <Rp2.500.000.000 per tahun.
Bagi hibah yang tidak dibebaskan dari PPh, maka Anda bisa mengacu pada PP No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Pasal 2 ayat 1 huruf a mengatakan bahwa besarnya PPh yang dikenakan atas hibah tanah dan/atau bangunan itu sebesar 2,5% yang dikalikan dengan nilai bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. PPh ini akan dikenakan kepada si pemberi hibah.
Di sisi lain, tak hanya pemberi hibah yang akan dikenakan pajak, tetapi juga penerima hibah. Pajak yang dikenakan ke penerima hibah adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 88, besarnya tarif BPHTB yang paling tinggi adalah 5% dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah (Perda).
Baca juga: Yuk, Pahami Cara Lapor SPT Tahunan Badan Online!
Demikianlah informasi seputar pajak hibah. Jika Anda menerima atau memberi hibah, jangan lupa kunjungi laman AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk mempelajari informasi-informasi lengkap mengenai implikasi pajak hibah. Segera daftarkan diri Anda di AyoPajak sehingga Anda tidak akan ketinggalan berita-berita terbaru seputar pajak dan juga ketahui lebih lengkap layanan e-Filling dan e-Billing dari AyoPajak.