Informasi Lengkap Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

cara menghitung penghasilan kena pajak

Tahukah Anda, bahwa cara menghitung Penghasilan Kena Pajak atau PKP ternyata tidaklah sulit. Anda hanya perlu mengetahui ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tentu saja, untuk membaca keseluruhan isi Undang-Undang tidaklah mudah, bukan? Oleh karena itu, AyoPajak akan merangkumnya dan membawa kembali pembahasan mengenai cara menghitung penghasilan kena pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang agar Anda dapat lebih memahami dan mengerti tentang perhitungan PKP.

Rincian Tarif Penghasilan Kena Pajak

Dalam menghitung PKP, Anda harus terlebih dahulu mengetahui tarif pajak yang dikenakan untuk masing-masing kategori penghasilan dan juga bagi yang memiliki NPWP serta tidak memiliki NPWP, yaitu sebagai berikut:

  1. Tarif PKP bagi yang memiliki NPWP
    • Penghasilan di bawah Rp50.000.000: 5%
    • Penghasilan antara Rp50.000.000-Rp250.000.000: 15%
    • Penghasilan antara Rp250.000.000-Rp500.000.000: 25%
    • Penghasilan di atas Rp500.000.000: 30%
  1. Tarif PKP bagi yang tidak memiliki NPWP
    • Penghasilan di bawah Rp50.000.000: 6%
    • Penghasilan antara Rp50.000.000-Rp250.000.000: 18%
    • Penghasilan antara Rp250.000.000-Rp500.000.000: 30%
    • Penghasilan di atas Rp500.000.000: 36%

Baca juga: Kenali Syarat PKP Berikut Ini

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, secara umum Anda harus menghitung penghasilan neto dalam setahun dengan cara mengurangi PKP (Penghasilan Kena Pajak) atau penghasilan bruto dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Kemudian, Anda dapat memilih salah satu dari ketiga cara di bawah ini sesuai dengan kebutuhan dan situasi saat ini, yaitu:

1. PKP untuk Wajib Pajak Badan

Bagi Wajib Pajak Badan, perhitungan PKP didapat dari penghasilan neto. Untuk mendapatkan angka penghasilan neto yang tepat, maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

Penghasilan neto = penghasilan bruto – pengurang/biaya yang diperkenankan dalam UU PPh

2. PKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Pembukuan

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan pembukuan, sesuai yang tertulis dalam Pasal 2A ayat (6)UU PPh, ada tiga cara perhitungan untuk mendapatkan hasil PKP, yaitu:

  • PKP = penghasilan neto – PTKP
  • PKP = penghasilan neto – zakat – PTKP
  • PKP = penghasilan neto – zakat – kompensasi rugi – PTKP

Untuk dapat menemukan penghasilan neto bagi PKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan pembukuan, maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

Penghasilan neto = penghasilan bruto – pengurang/biaya yang diperkenankan dalam UU PPh

3. PKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Norma Perhitungan

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Norma Perhitungan, untuk mendapatkan nominal PKP dapat mengikuti rumus perhitungan sebagai berikut:

  • PKP = penghasilan neto – PTKP

Dan untuk mendapatkan penghasilan netonya, maka Anda dapat menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:

  • Penghasilan neto = peredaran usaha x persentase NPPN

Baca juga: Informasi Lengkap PKP Pasal 9 Ayat 4B

Banner e-Faktur

Jadi, mudah sekali bukan setelah Anda membaca informasi di atas? Apabila Anda merupakan Wajib Pajak Badan, maka silakan untuk mengikuti cara menghitung Penghasilan Kena Pajak nomor 1 dan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maka bisa memilih antara cara perhitungan PKP nomor 2 atau 3 sesuai dengan kebutuhan dan situasi perpajakan saat ini.

Jika Anda masih kurang memahami mengenai perhitungan Penghasilan Kena Pajak atau ada kebutuhan perpajakan lainnya, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP. Kami siap membantu dan memberikan konsultasi perpajakan hanya untuk Anda.

Cara Menghitung Pajak PPN dan PPh Pasal 22 dengan Tepat

cara menghitung pajak ppn dan pph

Bagi Anda yang merupakan seorang PKP (Pengusaha Kena Pajak) atau ingin melakukan pembelian barang impor atau barang mewah, maka penting untuk memahami cara menghitung pajak PPN dan PPh Pasal 22. Kedua pajak tersebut dipungut ketika ada transaksi jual beli dari perdagangan barang. Untuk itu, agar dapat lebih memahami mengenai ketentuan beserta cara perhitungan PPN dan PPh Pasal 22, silakan simak artikel dari AyoPajak berikut ini.

Apa Itu PPN?

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dipungut dalam transaksi jual-beli barang dan jasa. Anda pasti sering menemukan dan bahkan membayar PPN dalam kegiatan sehari-hari seperti ketika makan di restoran tertentu. Untuk tarif PPN yang dikenakan dalam setiap transaksi jual beli diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 yang berbunyi:

  1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).
  2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
    • Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
    • Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    • Ekspor Jasa Kena Pajak
  3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Adapun barang-barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan objek PPN adalah sebagai berikut:

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  2. Impor BKP;
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP);
  7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP; dan
  8. Ekspor JKP oleh PKP.

Apa itu PPh Pasal 22?

Pajak Penghasilan Pasal 22 atau PPh Pasal 22 adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Ketentuan PPh Pasal 22 ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008. Barang-barang yang menjadi objek PPh Pasal 22, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2016 adalah barang-barang mewah tertentu yang diimpor.

Untuk tarif pajak dari PPh Pasal 22 sangatlah beragam dan rumit karena disesuaikan dengan objek serta pemungutnya. Berikut ini besaran pungutan PPh Pasal 22, yaitu:

  1. Atas impor:
    • yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
    • non-API = 7,5% x nilai impor;
    • yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
  2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
  3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
    • Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
  5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
  6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
  7. Atas penjualan
    • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
    • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
    • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
    • Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
    • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Baca juga: Informasi Pengecualian Pemungutan PPh 22

Cara Menghitung Pajak PPN dan PPh Pasal 22

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017, ada berbagai ketentuan yang perlu Anda ketahui untuk menghitung pajak PPN dan PPh Pasal 22 yakni berdasarkan nominal belanjanya. Jika nominal belanja barang memiliki total harga di bawah Rp2.000.000, maka hanya akan diberlakukan PPN saja dan apabila total harga melebihi angka Rp2.000.000, maka pajak yang diberlakukan untuk barang tersebut adalah PPN dan juga PPh Pasal 22.

Lain halnya untuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh pemungut seperti BUMN, maka batas harganya naik menjadi Rp10.000.000. Jika nominal barang berada di bawah batas hanya akan dikenakan PPN dan apabila total harga barang melebihi batas, maka akan dikenakan PPN dan PPh Pasal 22.

Banner e-Filing

Jadi, itulah informasi seputar cara menghitung pajak PPN dan PPh Pasal 22 dengan tepat. Apabila Anda kesulitan dalam menghitung kedua pajak tersebut, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP karena kami siap membantu kapan pun serta dalam urusan perpajakan apa pun.

Inilah Cara Menghitung Pajak Penghasilan Orang Pribadi

cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi

Sebagai Wajib Pajak, Anda perlu tahu cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi atau yang biasa disebut dengan PPh. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut atas penghasilan orang pribadi yang diterima dalam satu tahun masa pajak (Januari – Desember). Kemudian, pajak penghasilan yang telah dibayarkan harus dilaporkan dalam bentuk SPT tahunan form 1770 setidaknya paling lama pada bulan Maret setelah masa tahun pajak berakhir. Lalu, bagaimana cara menghitung pajak penghasilan? 

AyoPajak telah menyiapkan beberapa informasi penting seputar cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi secara rinci sehingga Anda dapat mempelajari dan mencoba menghitung pajak penghasilan sendiri.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Untuk menghitung pajak penghasilan orang pribadi, Anda hanya membutuhkan 4 langkah mudah, yaitu:

  1. Hitung total penghasilan kotor Anda selama setahun. Penghasilan ini sudah termasuk gaji, bonus, tunjangan, dan jenis pemasukan lainnya yang termasuk ke dalam PKP atau Penghasilan Kena Pajak.
  2. Temukan besaran PTKP yang sesuai dengan situasi Anda saat ini kemudian hitung pengurangan antara PKP dengan PTKP tersebut. Hasil dari pengurangan antara keduanya akan menjadi angka akhir dari penghasilan bersih atau neto Anda.
  3. Setelah Anda mendapatkan angka penghasilan neto, maka selanjutnya potong dengan tarif pajak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Baca juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan dengan Mudah

Rincian Besaran PTKP 

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, berikut ini merupakan rincian besaran PTKP bagi Wajib Pajak (WP) untuk tahun 2021 sesuai dengan status perkawinan, penggabungan penghasilan bagi suami istri, dan juga tanggungan yang dimiliki:

  • WP Tidak Kawin Tanpa Tanggungan (Tidak Kawin/TK0): Rp54.000.000
  • WP Tidak Kawin, punya 1 Tanggungan (Tidak Kawin/TK1): Rp58.500.000
  • WP Tidak Kawin, punya 2 Tanggungan (Tidak Kawin/TK2): Rp63.000.000
  • WP Tidak Kawin, punya 3 Tanggungan (Tidak Kawin/TK3): Rp67.500.000
  • WP Kawin Tanpa Tanggungan (Kawin/K0): Rp58.500.000
  • WP Kawin, punya 1 Tanggungan (Kawin/K1): Rp63.000.000
  • WP Kawin, punya 2 Tanggungan (Kawin/K2): Rp67.500.000
  • WP Kawin, punya 3 Tanggungan (Kawin/K3): Rp72.000.000
  • WP Kawin dan Penghasilan Istri digabung Penghasilan Suami Tanpa Tanggungan (Kawin/K/I/0): Rp112.500.000
  • WP Kawin dan Penghasilan Istri digabung Penghasilan Suami, Punya 1 Tanggungan (Kawin/K/I/1): Rp117.000.000
  • WP Kawin dan Penghasilan istri digabung Penghasilan Suami, Punya 2 Tanggungan (Kawin/K/I/2): Rp121.500.000
  • WP Kawin dan Penghasilan Istri digabung Penghasilan Suami, Punya 3 Tanggungan (Kawin/K/I/3): Rp126.000.000

Baca juga: Ketahui Cara Menghitung PTKP

Rincian Tarif Pajak Penghasilan (PPh)

Dalam cara perhitungan pajak penghasilan orang pribadi, setelah Anda mendapatkan angka akhir dari penghasilan neto, maka penghasilan neto tersebut akan dipotong dengan tarif pajak penghasilan yang berlaku. Berikut ini merupakan rincian tarif pajak penghasilan sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu:

  • Penghasilan bersih yang kurang dari Rp50.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 5%
  • Penghasilan bersih antara Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 15%
  • Penghasilan bersih antara Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 25%
  • Penghasilan bersih di atas Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 30%

Sekian informasi mengenai cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi yang dapat AyoPajak berikan untuk Anda. Jika Anda membutuhkan bantuan seputar perhitungan pajak penghasilan orang pribadi serta pelaporan SPT tahunan, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membuat janji konsultasi pajak.

Banner General (kontak, download app)

Cara Menghitung Pajak Terutang

cara menghitung pajak terutang

Apakah Anda tahu cara menghitung pajak terutang? Atau bahkan Anda bingung apa itu pajak terutang? Sebagai warga negara Indonesia yang taat akan hukum, tentunya setiap individu memiliki kewajiban yang harus dijalankan. Salah satu kewajiban tersebut adalah membayar pajak dan pajak terutang merupakan jumlah dari kewajiban pajak yang perlu Anda bayar sebagai Wajib Pajak kepada negara. Untuk lebih jelasnya, silakan simak penjelasan dari AyoPajak melalui artikel ini. Kami akan mengupas tuntas mengenai pajak terutang dan juga cara menghitungnya.

Apa Itu Pajak Terutang?

Sebagai Wajib Pajak, pastinya Anda memiliki pajak terutang atau istilah lainnya adalah kewajiban pajak. Pajak terutang ini merupakan kewajiban pajak yang harus dibayarkan dalam suatu masa pajak, entah itu masa bulanan atau masa tahunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 

Untuk pajak terutang diatur dalam 3 Undang-Undang perpajakan atau hukum dasar pajak terutang, yaitu:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada 3 jenis pajak terutang yang menjadi kewajiban Anda sebagai Wajib Pajak yakni PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah).

Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23

2 Cara Menghitung Pajak Terutang

Untuk dapat mengetahui nilai pajak terutang yang harus Anda bayarkan, maka ada k2 cara sesuai dengan jenis pajak terutang, yaitu sebagai berikut.

1. Menghitung PPh Terutang

Perhitungan Pajak Penghasilan atau PPh terutang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 yang menentukan berapa besar tarif pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Berikut ini merupakan besaran tarif pajak terutang PPh, yaitu:

  • Penghasilan bersih yang kurang dari Rp50.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 5%
  • Penghasilan bersih antara Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 15%
  • Penghasilan bersih antara Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 25%
  • Penghasilan bersih di atas Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 30%

Adapun bagi Wajib Pajak Badan atau mereka yang mempunyai usaha dalam negeri wajib untuk membayarkan PPh terutang sebesar 28% dari seluruh jumlah penghasilan.

Baca juga: Cara Pembetulan SPT PPN Lebih Bayar

2. Menghitung PPN dan PPnBM Terutang

Cara menghitung PPN dan PPnBM terutang didapat dari total pengalian tarif pajak dengan DPP atau Dasar Pengenaan Pajak. DPP merupakan harga jual, nilai ekspor/impor, penggantian, atau nilai yang dipakai sebagai dasar dari penghitungan besarnya pajak yang terutang.

Untuk tarif pajak yang dikenakan dari PPN dan PPnBM berbeda. Tarif pajak PPN terutang adalah sebesar 10% dan untuk tarif PPnBM yang tergolong ke dalam tarif pajak progresif tergantung dengan jenis barang yang diimpor berkisar mulai dari 10% hingga yang paling tinggi adalah 125%.

Baca juga: Kebijakan Diskon Tarif PPnBM Untuk Sektor Otomotif

Banner General (kontak, download app)

Bagaimana Cara Membayarkan Pajak Terutang?

Pembayaran pajak terutang dapat melalui ATM manapun yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan atau Anda juga bisa membayar melalui online banking. Alur proses pembayaran ini dimulai dari pembuatan e-Billing melalui website DJP Online, kemudian kode e-Billing dibawa untuk kode pembayaran, lalu simpan bukti pembayaran tersebut untuk nantinya dilaporkan ke kantor pajak atau melalui DJP Online.

Sekian informasi yang dapat kami sampaikan mengenai cara menghitung pajak terutang. Pastikan Anda selalu menjadi warga negara Indonesia yang taat dan patuh untuk memenuhi kewajiban dalam membayar pajak. Jika Anda membutuhkan konsultan pajak untuk mengurus segala keperluan pajak baik untuk orang pribadi maupun badan, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

Ketahui Cara Menghitung Pajak Penghasilan

cara menghitung pajak penghasilan

Bagi Anda yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi perlu tahu mengenai cara menghitung pajak penghasilan. Biasanya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang bekerja di sebuah perusahaan baik swasta ataupun negeri, setiap tahunnya sudah akan mendapatkan lembar bukti potong pajak penghasilan yang sudah dibayarkan untuk dilaporkan melalui SPT tahunan. Akan tetapi, apakah Anda tahu dari mana angka yang didapat pada bukti potong pajak penghasilan tersebut? Ataukah Anda merupakan pekerja bebas (freelancer) dan masih belum paham mengenai cara menghitung pajak penghasilan?

Melalui artikel ini, AyoPajak akan membimbing Anda agar dapat menghitung pajak penghasilan sendiri. Caranya sangatlah mudah! Simak informasinya di bawah ini. 

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Dalam menghitung pajak penghasilan, Anda hanya memerlukan 4 langkah saja. Berikut ini, cara menghitung pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui, yaitu:

1. Hitung Total Penghasilan Dalam Setahun

Anda perlu membuat daftar penghasilan dalam setiap bulannya yang kemudian diakumulasi dalam masa tahun pajak yakni 1 tahun dari bulan Januari hingga Desember. Penghasilan ini merupakan total penghasilan kotor yang berarti seluruh gaji, bonus, tunjangan, dan lainnya dimasukkan ke dalam total penghasilan kotor Anda dalam 1 tahun tersebut. 

Perhitungan total penghasilan kotor yang didapat oleh pegawai tetap akan lebih mudah karena jumlah gaji yang sama setiap bulannya. Akan tetapi bagi pegawai tidak tetap, Anda benar-benar harus merinci dari mana saja sumber penghasilan yang didapat beserta rincian nominalnya.

2. Ketahui Besaran PTKP

PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan besaran yang digunakan untuk mendapatkan angka dari total penghasilan Neto. PTKP ini dibuat dan diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor: Per-16/PJ/2016 karena 2 faktor utama, yaitu:

  • Setiap individu memiliki total penghasilan yang berbeda-beda
  • Setiap individu memiliki jumlah tanggungan rumah tangga atau tanggungan keluarga yang berbeda-beda

Dengan adanya 2 faktor utama tersebut, maka besaran PTKP bagi Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perpajakan di atas, adalah:

  • Rp54.000.000 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi 
  • Tambahan sebesar Rp4.500.000 bagi Wajib Pajak yang sudah menikah
  • Tambahan sebesar Rp54.000.000 bagi Wajib Pajak yang merupakan seorang istri dan penghasilannya digabung dengan suami
  • Tambahan sebesar Rp4.500.000 untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, termasuk anak angkat yang menjadi tanggungan Wajib Pajak (maksimal tiga orang dalam setiap keluarga)

3. Hitung Pengurangan Antara PKP dan PTKP

Setelah Anda mendapatkan besaran PTKP sesuai dengan kondisi saat ini, maka langkah selanjutnya adalah menghitung pengurangan antara PKP dan PTKP. PKP atau Penghasilan Kena Pajak adalah keseluruhan total penghasilan kotor yang telah Anda hitung sebelumnya. Total penghasilan kotor atau PKP dikurangi dengan PTKP untuk mendapatkan total penghasilan neto.

Sebagai contoh, jika Anda merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi tanpa tanggungan dan total penghasilan dalam setahun adalah Rp78.000.000, kemudian angka tersebut dikurangi dengan PTKP yakni Rp54.000.000, maka total penghasilan bersih dalam setahun adalah Rp24.000.000.

4. Hitung PPh yang Harus Dibayar

Langkah selanjutnya untuk mengetahui besaran pajak penghasilan yang harus dibayar, maka dari total penghasilan bersih yang didapat sebelumnya dapat dihitung dengan cara di bawah ini:

  • Penghasilan bersih yang kurang dari Rp50.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 5%
  • Penghasilan bersih antara Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 15%
  • Penghasilan bersih antara Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 25%
  • Penghasilan bersih di atas Rp500.000.000 akan dikenakan tarif pajak sebesar 30%

Jadi, jika kita ambil dari penghasilan bersih pada contoh di atas yaitu Rp24.000.000, maka total pajak penghasilan yang harus dibayar dengan tarif pajak sebesar 5% adalah Rp1.200.000.

Mudah sekali bukan untuk menghitung pajak penghasilan? Jika masih ada bagian yang Anda kurang paham mengenai cara menghitung pajak penghasilan, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP dan kami siap membantu kapanpun dibutuhkan.

Meneropong Tax Amnesty Jilid 2

tax amnesty jilid 2

Irwan Wisanggeni, Dosen Trisakti School of Management

Gaung pengampunan pajak (tax amnesty)  jilid 2 mulai terdengar sejak beberapa tahun silam namun suaranya menjadi lebih menguat saat ini.  Penyebabnya  Presiden Joko Widodo (19/5-2021) telah mengirimkan surat kepada DPR untuk segera membahas  Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU KUP yang telah masuk program legislasi nasional prioritas 2021 ini membahas beberapa hal terkait pungutan pajak di Indonesia. Dalam RUU tersebut juga termasuk didalamnya  usulan tax amnesty jilid 2. 

Dalam pengertian secara luas pengampunan pajak dikenal sebagai penghapusan pokok pajak, sanksi administrasi, dan tindakan pidana perpajakan atas kegiatan ketidak patuhan pembayar pajak dimasa lalu. Proses pengampunan pajak berlangsung pada kurun waktu dua bulan sampai satu tahun.

Bercermin dari tax amnesty jilid satu  tahun 2016 silam  dengan payung hukumnya Undang Undang Nomor 11 tahun 2011 tentang pengampunan pajak atas kewajiban perpajakan.  Dapat dikatakan sukses karena lebih dari 972.000 wajib pajak mengikuti program pengampunan pajak, dan data menjelaskan uang tebusan tax amnesty yang terkumpul 114,54  triliun rupiah, deklarasi harta  mencapai lebih dari  4.800 triliun rupiah. Pencapaian ini memberikan kejelasan bahwa Indonesia merupakan negara yang benar-benar sukses dalam menerapkan tax amnesty.

Sebenarnya tax amnesty sudah sering dilakukan di Indonesia, dengan nama yang berbeda misalnya pemutihan, pengampunan dan sunset policy, telah berlangsung empat kali yaitu tahun 1964, 1984 dan 2008, 2016. Bahkan tahun 2015 pernah dicanangkan tahun pembinaan wajib pajak.

Penulis masih ingat pada tahun 2015 diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK), PMK 91/PMK.03/2015 tentang pengurang atau Penghapusan Sangsi Administrasi atas Keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), Pembetulan SPT dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak. PMK ini memayungi secara hukum atas program pembinaan wajib pajak.

Tax Amnesty dapat berulang

Bagaimana dengan negara lain, apakah tax amnesty dapat dilakukan lebih dari satu kali, jawabnya ya, lebih dari satu kali tax amnesty dilakukan, Amerika Serikat, lebih dari 18 kali di 41 negara bagian dalam kurun waktu 30 tahun dan mendapatkan penerimaan pajaknya 5,3 miliar US dollar. Afrika Selatan 3 kali pengampunan pajak , yakni 1995, 2003, dan 2006. India melakukan program pengampunan pajak 12 kali sejak tahun 1951 sampai tahun 2016. Turki melaksanakan  29 kali pengampunan pajak yang dimulai sejak tahun 1924 hingga 2016 atau setiap  dua sampai tiga tahun diadakan tax amnesty.

Semangat dibalik tax amnesty secara umum adalah pembinaan kepada wajib pajak agar kedepan membayar pajak lebih transparan,  benar dan lengkap. Ada dua hal positif yang akan didapati dari melakukan pengampunan pajak. Pertama, mengembalikan uang yang diparkir diluar negeri yang diperkirakan berjumlah Rp 4.000 triliun, kita bisa bayangkan jika program pengampunan pajak ini berhasil mendapatkan 50 persen saja, maka dana yang akan masuk ke Indonesia sebesar Rp 2.000. triliun. Uang sebanyak ini tentunya akan menggerakan dan memperlancar mesin perekonomian di dalam negeri. Kedua, jika program pengampunan pajak jilid 2 lancar dan efektif, maka prediksi penerimaan pajak akan meningkat. Sebagai gambaran tahun 2020 lalu realisasi penerimaan pajak di Anggaran Pendapatan Negara (APBN) Rp.1.070 triliun atau 89,3 persen dari target Rp 1.198,8 triliun. Tahun ini target pajak Rp 1.229,6 triliun. Realisasi kuartal 1-2021 baru Rp 228,1 triliun atau 18,55 persen. Diharapkan penerimaan pajak di tahun 2021 dapat tercapai, karena saat ini negara membutuhkan banyak dana untuk membeli vaksin Covid 19.

Penulis memprediksi peserta pengampunan pajak jilid dua dapat mencapai dua kali lipat atau tiga kali lipat dari  tax amnesty , sehingga dapat diestimasi akan tambahan atas penerimaan pajak karena adanya program pengampunan pajak jilid dua mencapai Rp 200 triliun sampai Rp 300 triliun, hal ini sangat membantu pemerintah, dana tersebut akan digunakan untuk menangani Covid dan pembiayaan negara.

Baca juga: Mengenal Apa itu Tax Avoidance

Volountary Disclousure Program (VDP)

Namun beberapa pakar perpajakan mempermasalahkan program tax amnesty jilid 2, mereka berpendapat program ini akan meruntuhkan kepercayaan wajib pajak, karena jarak waktunya terlalu cepat dengan program tax amnesty pertama.  Mereka khawatir kepercayaan dari negara internasional menjadi berkurang dan menjadi bahan tertawaan dunia internasional. Nampaknya kekhawatiran ini terlampau berlebihan.

Sebenarnya program pengampunan pajak jilid dua bukan sesuatu yang baru karena seperti dijabarkan diatas negara-negara lain juga melakukan tax amnesty secara berulang-ulang. Bentuk pengampunan pajak jilid dua yang akan diselenggarakan nanti nampaknya akan berbentuk merevisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang menjelaskan program pengungkapan harta yang belum dilaporkan dari program yang berakhir tahun 2017 lalu. Kebijakan seperti ini sebenarnya sudah menjadi model otoritas pajak di taraf internasional dengan istilahnya volountary disclousure program (VDP), program ini berisikan wajib pajak memiliki kesempatan mengungkapkan harta  dan penghasilan secara sukarela tetapi tetap dalam garis ketentuan umum kepatuhan dan penegakan hukum dibidang perpajakan. Tentunya dengan tariff pajak yang menarik (lebih kecil dari

Kebijakan pengampunan pajak  merupakan   pilihan   terbaik   saat   ini   untuk mencapai     tujuan     yang diharapkan     oleh pemerintah,  sesuai dengan  konsep  dasar teori Economic Analysis of Law, yaitu maksimalisasi,   keseimbangan,   dan   efisiensi. Kebijakan tax amnesty merupakan jalan keluar yang memberikan keuntungan bagi semua  pihak,  baik negara maupun wajib pajak. Pemerintah dapat mengoptimalkan  penerimaan  pajak sedangkan wajib pajak mendapatkan   keringanan   dalam   membayar pajak.

Kita berharap program pengampunan pajak jilid dua dapat berjalan lancar, sehingga dapat menstimulus perekonomian secara makro yang saat ini berjalan limbung karena kondisi pandemi. Semoga Presiden dan DPR menjadi motor penggerak dalam mewujudkan program pengampunan pajak jilid dua.***

Jenis-jenis Biaya yang Menimbulkan Koreksi Fiskal Positif

koreksi fiskal positif

Jika Anda pernah belajar akuntansi atau mengenal bidang ini cukup baik, istilah koreksi fiskal tentunya bukanlah hal yang baru. Istilah ini terbilang cukup sering terdengar. Koreksi fiskal pada dasarnya adalah sebuah intervensi yang melibatkan rekam transaksi dalam sebuah praktik pengelolaan keuangan. Dalam hal ini yang dibahas adalah pengelolaan oleh Ditjen Pajak. Koreksi yang akan dibahas di dalam artikel ini adalah koreksi fiskal positif.

Koreksi fiskal positif adalah kondisi yang disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor beda waktu dan beda tetap. Beda waktu di sini maksudnya koreksi yang terjadi karena perbedaan waktu masuk penghasilan yang tercatat dalam basis kas dalam jangka waktu lama. Faktor yang kedua adalah beda tetap, yakni adanya transaksi yang tidak seharusnya dihitung sebagai standar Wajib Pajak, seperti penghasilan dari sumbangan.

Macam-macam Biaya yang Menimbulkan Koreksi Fiskal Positif

Lebih mudahnya, koreksi fiskal positif membuat jumlah biaya pajak yang harus dibayarkan bertambah. Sementara koreksi fiskal negatif membuat jumlah biaya pajak yang harus dibayarkan berkurang. Berikut ada beberapa jenis biaya yang dapat menimbulkan koreksi fiskal positif.

Biaya Kepentingan Pribadi Pemegang Saham

Jenis biaya yang satu ini adalah jenis yang dikeluarkan atau dibebankan dari pihak pemegang saham untuk kepentingan pribadi. Biasanya, jenis biaya ini dikeluarkan oleh pihak perusahaan itu sendiri. Lalu, hal yang terjadi adalah biaya tersebut tidak bisa dihilangkan dari penghasilan bruto perusahaan itu sendiri. Ini bisa menyebabkan koreksi fiskal positif.

Pembentukan Dana Cadangan

Membuat atau menumpuk dana cadangan juga bisa menyebabkan koreksi fiskal positif. Upaya ini tidak salah, karena sudah diberi pengecualian dalam UU PPh Pasal 9 Ayat (1) huruf c yang mengizinkan pembentukan dana cadangan. Disebutkan kalau dana cadangan piutang tak tertagih diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Terdapat cadangan piutang tak tertagih usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit. Di sini juga termasuk cadangan usaha yang dibentuk oleh BPJS, cadangan penjaminan untuk lembaga, cadangan biaya reklamasi, cadangan biaya penanaman kembali, serta cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri.

Premi Asuransi yang Dibayar oleh WPOP

UU PPh Pasal 9 Ayat (1) huruf d membahas soal premi asuransi yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi ini (WPOP). Premi asuransi yang dibayarkan ini termasuk asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, dwiguna, serta asuransi beasiswa. Pembayaran ini tidak bisa dikurangi dari penghasilan bruto, terlebih jika dibayarkan sendiri oleh WPOP.

Penggantian dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan

Diatur dalam UU PPh Pasal 4 Ayat (3) huruf d. Penggantian atau pemberian imbalan berupa natura serta kenikmatan tidak dianggap sebagai objek pajak. Contohnya, saat imbalan diberikan dalam bentuk sembako. Hal ini tidak akan dihitung sebagai objek pajak penghasilan. Kemudian, hal ini juga diatur dalam PMK No. 167/PMK.03/2018.

Dana Berlebih yang Diberikan pada Pihak Tertentu

Contoh umumnya adalah ketika pemegang saham di sebuah perusahaan yang juga merupakan seorang tenaga ahli. Individu ini memberikan jasanya dengan upah yang terlampau besar. Bahkan, lebih besar daripada harga pasar untuk jasa tersebut. Sebagian dari dana tersebut akan dianggap sebagai dividen dan bukan upah seluruhnya yang diterima oleh pemegang saham tersebut.

Harta yang Dihibahkan

Harta ini termasuk warisan serta harta yang disumbangkan sebagai bantuan. Peraturan ini tertuang dalam UU PPh Pasal 4 Ayat (3) huruf a dan b di mana dijelaskan bahwa dana ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasil Bruto, zakat tetap dibebankan sebagai biaya.

Biaya Kepentingan Pribadi WP atau Tanggungannya

Biaya yang dikeluarkan atau dibebankan untuk kepentingan pribadi juga tidak bisa dikurangi dari penghasilan bruto. Hal yang dimaksud adalah kepentingan pribadi sang Wajib Pajak serta orang-orang yang menjadi tanggung Wajib Pajak. Dengan kata lain, ini adalah biaya yang digunakan dari penghasilan WP sendiri.

Sanksi Administrasi

Penting diketahui bahwa sanksi yang dimaksud adalah sanksi yang bentuknya bunga, denda, kenaikan, dan sanksi pidana yang juga bisa berupa denda. Ini diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sanksi administrasi perpajakan biasanya diterbitkan melalui Surat Tagihan Pajak.

Itu dia delapan jenis biaya yang menimbulkan koreksi fiskal positif. Untuk mengetahui lebih detail dan rinci, Anda bisa mencari tahu per jenis biaya itu sendiri. Termasuk juga melihat seperti apa penerapan koreksi fiskal positif. Jangan lupa gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)

Definisi PPh Pasal 4 Ayat 2

pph pasal 4 ayat 2

UU PPh Pasal 4 Ayat 2 ini membahas tentang pajak beberapa jenis penghasilan yang dikenakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) juga Wajib Pajak Badan (WPB). Untuk setiap jenis penghasilan, tarif yang dikenakan besarnya berbeda. Contoh, bagi WPB pemilik bisnis online dengan keuntungan dalam 1 tahun pajak tidak lebih dari Rp4,8 miliar (terhitung UMKM) akan dikenakan 0,5% tarif PPh dari total bruto.

Penjelasan PPh Pasal 4 Ayat 2

Bagi Anda pemilik UMKM, baik sebagai WPOP atau WPB, penting sekali untuk memahami definisi PPh Pasal 4 Ayat 2 ini. Mulai dari pemahaman definitif, sampai informasi tentang objek pajak, tarif, mekanisme pajak yang berlaku, hingga cara hitung dan tenggat bayar yang diatur bagi Anda. 

PPh Pasal 4 Ayat 2 ini juga dikenal dengan sebutan PPh Final. Tidak hanya WPB, tarif pajak PPh final juga berbeda bagi WPOP tergantung jenis penghasilannya apa. Berikut ulasan selengkapnya.

Bersifat Final

Secara definitif, PPh Pasal 4 Ayat 2 ini disebut final karena pemotongan pajak hanya diterapkan satu kali selama masa pajak. Ini dilakukan agar prosesnya lebih efisien dan efektif. Termasuk juga demi mempertimbangkan konsistensi pembayaran serta kepatuhan wajib pajak terhadap tenggat bayar yang ditetapkan. Karena sifat PPh ini sudah final, maka pajak yang satu ini jenisnya tidak bisa dimasukkan sebagai kredit Pajak Penghasilan terutang.

Mekanisme Pembayaran

Seperti item perpajakan lainnya, PPh Pasal 4 Ayat 2 juga memiliki mekanisme pembayarannya sendiri. Terdapat dua mekanisme yang bisa diterapkan di sini. Pertama, ada mekanisme pembayaran sendiri. Mekanisme ini mengacu pada pembayaran 10% dari jumlah uang sewa yang wajib dibayarkan oleh pemilik tanah/bangunan. Ini berarti jika yang menyewa tanah/bangunan bukanlah pemilik asli, maka pajak tetap disetorkan oleh pemilik.

Kedua, ada mekanisme pemotongan, yakni pemotongan PPh sebanyak 10% yang dipotong oleh pihak penyewa dari total uang sewa. Ini wajib dilakukan karena penyewa terhitung sebagai pihak pemotong pajak. Pihak pemotong pajak ini termasuk badan, bentuk usaha, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan, hingga orang pribadi.

Objek PPh Pasal 4 Ayat 2

PPh final ini memiliki objek pajak yang disesuaikan dengan jenis penghasilannya. Bagi badan usaha dengan keuntungan kurang dari Rp4,8 miliar setiap tahun pajak, dikenakan objek pajak tersendiri. Objeknya bisa berupa bunga tabungan, bunga dari obligasi, maupun bunga dari deposito yang dibayarkan oleh pihak koperasi bagi setiap anggota. Termasuk pula hadiah yang berupa undian atau lotre. 

Transaksi saham dan surat berharga juga termasuk sebagai objek pajak. Berikut juga dengan transaksi derivatif perdagangan dalam bursa, transaksi penjualan saham, serta pengalihan ibukota mitra dari perusahaan tersebut yang sudah didapat oleh pihak perusahaan modal. Lalu, objek lainnya ada transaksi atas pengalihan aset dan pendapatan tertentu lainnya.

Untuk kondisi PPh final di antara dua perusahaan, maka objeknya juga berbeda. Jika terjadi transaksi antara keduanya, pihak yang membayar penghasilan yang harus membayar pajak. Jadi, pihak yang menerima pembayaran tidak perlu melakukan pembayaran pajak.

Waktu Membayar

Di sini akan dibahas soal kapan Anda harus membayar kewajiban pajak untuk PPh final 0,5% sesuai PPh Pasal 4 Ayat 2, yaitu UMKM yang penghasilannya kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. Termasuk juga UMKM yang dijalankan oleh WPOP maupun WPB. Tarif 0,5% ini dikenakan dari total keuntungan setiap bulan.

PPh final hanya dihitung sekali setiap bulan berikut melakukan validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) sebagai bukti sudah bayar. Pembayaran ini dilakukan setiap tahun di akhir bulan Maret. Pajak dilaporkan dalam SPT Tahunan. Ini berlaku untuk WPOP. Sementara untuk WPB dibayarkan di akhir April di setiap masa tahun pajak.

Untuk membantu Anda menghitung total nominal pajak yang perlu dibayarkan, Anda bisa menggunakan aplikasi pajak seperti AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda. Fitur penghitungan PPh sudah diset, di mana Anda kemudian tinggal memasukkan beberapa data yang diminta untuk kemudian akan dilampirkan hasil hitungnya. Berikutnya tinggal Anda lakukan konfirmasi nominal agar tidak ada kesalahan.

Selain menggunakan aplikasi, Anda juga bisa berkunjung langsung ke KPP terdekat, terutama jika Anda adalah pengusaha baru. Dengan begini, Anda bisa dibantu lebih jauh dan lebih leluasa bertanya jika terdapat kendala atau beberapa hal yang kurang bisa dipahami. Agar lebih nyaman, Anda bisa melakukannya jauh-jauh hari sebelum masa pelaporan pajak dan tenggat bayar sudah dekat.

Banner General (kontak, download app)

Fungsi APBN dengan Peran Pajak di Dalamnya

fungsi apbn

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN adalah instrumen yang dibuat khusus untuk mengelola keuangan negara. Di dalam APBN, tercantum daftar sistematis yang memuat rincian rencana penerimaan serta pengeluaran negara. Rancangan ini dibuat untuk dipakai sejak tanggal 1 Januari hingga 31 Desember di setiap tahun anggaran.

Peran pajak juga sangat besar dalam mempengaruhi rancangan APBN setiap tahunnya. Untuk memahami peran pajak ini, Anda perlu mengetahui dulu fungsi APBN tersebut lebih dulu. Berikut ulasan selengkapnya.

Mengenal APBN

Dalam rancangan APBN, instrumen negara ini dibagi menjadi tiga komponen. Ketiga komponen ini adalah pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan negara. Untuk komponen pendapatan negara, sebagian besar diperoleh dari pungutan pajak. Selain daripada itu akan dimasukkan dalam jenis penerimaan bukan pajak.

Penerimaan yang asalnya dari perpajakan ini diperoleh melalui pungutan pajak, cukai dan pabean, serta hibah. Pungutan pajak ini salah satunya diperoleh dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh). Peroleh dari PPh ini nantinya masih terbagi lagi jadi beberapa jenis PPh sebagaimana diatur dalam UU PPh.

Komponen berikutnya adalah belanja negara. Penyusunan komponen yang satu ini dipengaruhi lebih dari satu faktor. Ada faktor kebutuhan penyelenggaraan negara, risiko bencana alam dan dampak krisis global, asumsi dasar makro ekonomi, kebijakan pembangunan, serta kondisi kebijakan-kebijakan lain. Alokasi belanja negara akan mengacu pada faktor-faktor tersebut.

Komponen terakhir ada pembiayaan negara ini ada dua jenis. Pembiayaan luar negeri dan dalam negeri. Pembiayaan luar negeri termasuk penarikan pinjaman dari luar negeri, penerusan pinjaman, serta pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Lalu, pembiayaan dalam negeri ini termasuk pembiayaan perbankan dan non perbankan dalam negeri. Kedua jenis pembiayaan ini juga dipengaruhi oleh faktur tertentu dalam penyusunannya. Ada faktor asumsi dasar makro ekonomi, kebijakan pembiayaan, serta kondisi kebijakan lain. 

Fungsi APBN

Itu dia pengantar singkat perihal APBN. Kini, kita bisa masuk dan membahas soal fungsi APBN itu sendiri. Secara umum, APBN berfungsi sebagai acuan atau pedoman belanja dan pendapatan negara dalam melaksanakan berbagai macam program dan kegiatan. APBN berfungsi untuk memberikan gambaran kekuatan keuangan negara selama 1 tahun anggaran tersebut. 

Itu fungsi APBN secara umum. Secara khusus ada banyak sekali fungsi APBN. Berikut penjabarannya;

  • Fungsi otorisasi – fungsi sebagai dasar serta pedoman dalam pelaksanaan penerimaan dan belanja negara setiap tahunnya. Fungsi ini juga harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
  • Fungsi perencanaan – APBN menjadi pedoman negara untuk merancang program dan kegiatan yang berdasar pada ketentuan-ketentuan yang ada.
  • Fungsi alokasi – pengelolaan terarah guna mengurangi pengangguran serta memastikan efisiensi serta efektivitas ekonomi.
  • Fungsi distribusi – penggunaan APBN untuk memelihara keadilan dan kepatutan.
  • Fungsi stabilisasi – fungsi APBN sebagai alat pemeliharaan dan pengupayaan dalam menjaga keseimbangan fundamental ekonomi negara.

Peran Pajak dalam Fungsi APBN

Sekilas di awal tadi, sebenarnya sudah sempat disebutkan bahwa sebagian besar sumber penerimaan negara asalnya dari pajak sendiri. Ini jadi bukti betapa APBN dan pajak sendiri tidak bisa dipisahkan. Pajak memiliki kontribusi paling besar dalam rancangan pendapatan dalam APBN.

Berkaca dari data keuangan serta APBN tahun demi tahun, bisa dilihat bahwa penerimaan negara yang asalnya dari pajak memiliki nilai yang paling besar. Lebih besar dari komponen penerimaan lainnya yang bukan pajak. Dengan kata lain, aktivitas dan program negara terutama geliat ekonomi tidak bisa terlepas dari peran pajak itu sendiri.

Dalam melaksanakan sederet fungsi APBN di atas tadi semisal. Dibutuhkan pengelolaan pajak yang fasih juga. Hal ini perlu agar pemerintah bisa memastikan negara menerima penerimaan yang sepadan untuk menjalankan setiap fungsi tersebut. Dengan kata lain, pajak berperan dalam merealisasikan setiap fungsi APBN itu tadi.

Sekarang, hal yang menjadi catatan penting adalah bagaimana kemudian negara bisa meningkatkan kesadaran akan kewajiban pajak di tengah masyarakat. Upaya negara untuk menciptakan kondisi ekonomi sejahtera juga tidak lepas dari peran masyarakat dalam membayar pajak. Pajak yang dibayarkan dengan disiplin ini nantinya juga berkontribusi ke banyak program yang dibuat untuk kepentingan masyarakat juga.

Begitu kira-kira kaitan antara fungsi APBN dan peran pajak serta peran kita sebagai masyarakat dan Wajib Pajak. Taat membayar pajak berarti menunjukkan kontribusi kita terhadap kebaikan Anda sendiri dan masyarakat seluruhnya. Gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)

Pengertian dan Alokasi Dana Perimbangan

dana perimbangan adalah

Berbicara tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), salah satu topik yang dibahas sudah tentu perihal dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang ada kaitannya dengan dana yang dialirkan dari APBN untuk kebutuhan daerah otonom. Di dalam artikel ini, kami akan membahas lebih jauh tentang dana perimbangan.

Apa itu Dana Perimbangan?

Seperti yang sudah disebutkan di awal tadi, dana perimbangan adalah alokasi dana yang berasal dari pendapatan APBN. Dana perimbangan ini nantinya akan dialirkan pada daerah otonom. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah agar daerah bisa mencukupi kebutuhan aktivitas dan program desentralisasi di sana.

Untuk besaran dana perimbangan sendiri akan diatur di setiap tahun anggaran. Dana yang satu ini dialokasikan berdasarkan jenisnya. Jenis-jenis dana perimbangan sendiri dibagi menjadi tiga jenis: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Jenis Dana Perimbangan

Ketiga jenis dana perimbangan adalah dana yang semuanya bersumber dari pendapatan APBN. Hal yang membedakan ketiganya adalah tujuan penggunaan dana-dana tersebut. Mari bahas lebih jauh soal ketiga jenis dana perimbangan ini. 

DAU adalah dana yang alokasinya bertujuan untuk menciptakan kemampuan keuangan yang sama rata antara satu daerah dan daerah lain. Terlebih dalam aspek pemenuhan kebutuhan desentralisasi di daerah tersebut. Sebaliknya, DAK bertujuan membiayai program-program khusus daerah yang sesuai dengan prioritas Negara.

Lalu, jenis yang terakhir ada DBH. Dana ini dialokasikan berdasarkan persentase tertentu. Tujuannya tetap untuk mendanai pelaksanaan desentralisasi suatu daerah. Dana yang satu ini masih terbagi lagi menjadi tiga, ada DBH PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), DBH BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), DBH PPh WPOPDN (Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

Alokasi Dana Perimbangan

Setelah mengetahui kalau dana perimbangan adalah dana dengan banyak jenisnya, ada baiknya Anda juga tahu soal alokasi setiap jenis dana. Alokasi DAU untuk Provinsi sebesar 90% dari DAU Nasional, sementara untuk Kabupaten/Kota sebanyak 10%. Untuk DAU Nasional dialokasikan paling sedikit 26% dari total Pendapatan Dalam Negeri Netto.

Bagi Anda yang belum tahu, Pendapatan Dalam Negeri Netto adalah selisih antara Pendapatan Dalam Negeri dengan Bagi Hasil dari Pusat ke Daerah. Lalu, perhitungan alokasi di atas itu sudah sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah 55 Tahun 2005.

Berikutnya, ada formulasi alokasi untuk DAK. Terdapat kriteria khusus untuk proses pengalokasian dana yang satu ini. Kriteria umumnya, DAK akan dirumuskan dengan mengacu pada kemampuan keuangan suatu daerah. Berikutnya ada kriteria khusus yang mengacu pada peraturan penyelenggaraan otonomi khusus dari peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, ada lagi satu kriteria terakhir untuk alokasi DAK. Disebut kriteria teknis karena dibuat dengan mengacu pada indikator kondisi sarana dan prasarana daerah, termasuk pencapaian secara teknis dari penggunaan DAK di daerah tersebut.

Terakhir, alokasi DBH yang dibedakan menjadi tiga jenis. DBH PBB dibagi 10% untuk Pusat dan 90% untuk daerah. Bagian 10% milik Pusat ini nantinya akan dialokasikan kembali ke Kabupaten/Kota. Pembagiannya sebagai berikut; Kabupaten/Kota akan menerima 6,5% dibagi rata. Lalu 3,5% dibagi dalam bentuk insentif kepada Kabupaten/Kota yang mencapai/melampaui rencana penerimaan di tahun anggaran sebelumnya.

Persentase 90% yang diterima daerah masih akan dibagi lagi. Sebanyak 16,2% diberikan kepada Provinsi tersebut. Kemudian, 64,8% porsi diberikan untuk Kabupaten/Kota tersebut. Sisanya, 9% diambil sebagai biaya pemungutan.

Alokasi berikutnya ada DBH BPHTB. Sebanyak 80% akan diterima daerah, lalu 20% akan diterima Pusat. Total 80% dana yang diterima daerah akan dibagi lagi. Sebanyak 16% untuk Provinsi tersebut, sementara 64% untuk Kabupaten/Kota tersebut sendiri. 

Terakhir ada DBH PPh WPOPDN. Pendapatan Negara yang asalnya dari Pajak Penghasilan akan diberikan kepada daerah. Total persentase yang diberikan adalah sebesar 20%. Sebanyak 8% dari total dana 20% itu akan diberikan bagi Provinsi tersebut. Sementara 12% sisanya diberikan pada Kabupaten/Kota tersebut. 

Total 12% yang diterima Kabupaten/Kota akan dibagi lagi. Sebanyak 8,4% dana akan diberikan bagi Kabupaten/Kota di mana wajib pajak yang bersangkutan terdaftar. Sementara 3,6% lainnya akan diberikan untuk seluruh Kabupaten/Kota yang ada di dalam Provinsi tersebut. Pembagian akan diberikan sama besar.

Dari penjelasan ini, Anda jadi tahu bahwa dana perimbangan adalah dana yang penting perannya. Salah satu peran pentingnya adalah untuk menyeimbangkan kemampuan suatu daerah untuk bertumbuh, termasuk memiliki kualitas sama dengan daerah-daerah lainnya. Jangan lupa gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)