Cara Menghitung Tarif Pasal 17 PPh 21

tarif pasal 17 PPh 21

Bagaimana cara menghitung tarif pasal 17 PPh 21? PPh pasal 17 adalah aturan yang tertera di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal ini menjelaskan aturan tarif pajak yang dibebankan kepada Wajib Pajak. Bisa untuk Wajib Pajak pribadi atau Wajib Pajak Badan. Untuk lebih lengkapnya, simak penjelasan di bawah ini bersama AyoPajak.

Tarif Pasal 17 PPh 21

Mengacu pada PPh pasal 17, maka tarif pajak penghasilan di Indonesia menerapkan skema tarif progresif. Artinya, tarif pajak yang dikenakan menjadi semakin tinggi seiring dengan kenaikan jumlah penghasilan yang menjadi pengenaan pajak tersebut. Tarif progresif di dalam PPh 17 menjadi bentuk dari asas keadilan karena semakin tinggi penghasilan, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Sebaliknya, semakin rendah penghasilan, pajak yang perlu dibayarkan juga lebih kecil. 

Selanjutnya, tarif pasal 17 PPh 21 untuk Wajib Pribadi menurut Ayat 1(A) adalah:

  • Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000, tarif pajak yang dibebankan 5%
  • Penghasilan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, tarif pajaknya 15%
  • Penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000, tarif pajaknya 25%
  • Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif pajaknya 30%

Untuk Wajib Pajak Badan, tarifnya sebesar 28% (PPh pasal 17 Ayat 1 (b)). Namun di dalam Ayat 2 (a) disebutkan juga bahwa sejak tahun pajak 2010, tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak badan adalah 25%.  

Contoh Penghitungan Tarif Pasal 17 PPh 21

Setelah mengenal tentang rincian tarif, sekarang waktunya mengetahui contoh penghitungannya. Di bawah ini ada contoh penghitungan PPh 21 pasal 17 sesuai dengan penjelasan dalam PPh pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008.

Penghitungan Wajib Pajak Pribadi

Pertama, ada perhitungan Wajib pajak pribadi dengan penghasilan kena pajak senilai Rp600.000.000. Berikut perhitungan pajaknya:

Penghasilan Kena Pajak: Rp600.000.000

Pajak Penghasilan Terutang:

 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000

15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000

25% x Rp250.000.000 = Rp62.500.000

30% x Rp100.000.000 = Rp30.000.000

Total pajak penghasilan terutang adalah = Rp125.000.000

Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami

Penghitungan Wajib Pajak Badan

Selanjutnya ada penghitungan pajak penghasilan untuk Wajib Pajak badan dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp1.250.000.000. Berikut perhitungan pajak penghasilannya:

Penghasilan Kena Pajak: Rp1.250.000.000

Pajak Penghasilan Terutang:

25% x Rp1.250.000.000 = Rp312.500.000

Dari penjelasan di atas, sekarang Anda sudah mengerti bagaimana cara menghitung tarif pasal 17 dari PPh 21. Bisa dibilang, PPh pasal 17 ini sangat penting untuk diterapkan karena mampu memberikan kontribusi besar bagi pemerintah. Praktik pemungutannya pun langsung dilakukan oleh pemerintah dari penghasilan masyarakat.

Untuk masyarakat atau Wajib Pajak, perlu sekali untuk memahami tarif pajak yang harus dibayarkan. Ini semua berdampak dari sistem pemungutan pajak di Indonesia, yakni self assessment yang artinya adalah beban menghitung, membayar, dan melapor pajak ada di tangan Wajib Pajak. 

Jika Anda membutuhkan bantuan dari proses pembayaran pajak penghasilan yang wajib dilakukan setiap tahunnya, jangan ragu untuk menggunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner e-Filing

Pengertian, Jenis, dan Contoh Pajak Langsung

pajak langsung adalah

Dalam dunia perpajakan di Indonesia, ada dua kelompok pajak, yakni pajak langsung dan tidak langsung. Pajak langsung adalah pungutan yang menjadi beban dari Wajib Pajak dan tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Untuk pajak langsung, ada pengertian, jenis, dan contoh yang menarik untuk Anda kenali lebih dalam. Tanpa perlu berlama-lama lagi, simak penjelasan lengkap tentang pajak langsung di bawah ini. 

Pengertian Pajak Langsung

Seperti penjelasan yang telah diberikan di atas, pajak langsung adalah pungutan yang merupakan beban dari Wajib Pajak. Pungutan ini tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Mengapa bisa begitu? Alasan utamanya adalah kewajiban untuk membayar pajak memang menyatu dengan Wajib Pajak. Itulah mengapa pungutan tersebut hanya bisa ditanggung oleh Wajib Pajak saja.

Jenis dan Contoh Pajak Langsung

Perlu diketahui bahwa pajak langsung termasuk dalam pengelompokkan jenis pajak berdasarkan golongan atau cara dari pemungutannya. Untuk jenis dari pajak langsung sendiri ada beberapa, yakni:

  • Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
  • Pajak Penghasilan
  • Pajak Kendaraan Bermotor

Jadi ada tiga jenis dari pajak langsung yang memang sangat akrab dengan kehidupan bermasyarakat. Bahkan mungkin Anda sudah sering membayar ketiga jenis pajak langsung ini. Ketiga jenis ini memiliki penjelasan yang lebih dalam dan dan terperinci agar semakin mudah untuk dimengerti.

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB diatur langsung melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah dan disesuaikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Dasar pengenaan pajak jenis ini adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah.

Kondisi ini membuat besaran pajak bisa berbeda setiap tahunnya. Namun tenang saja, Wajib Pajak pasti mengetahui informasi besaran pajak setiap tahunnya melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). 

Wajib Pajak dalam PBB terdiri dari dua, yakni orang pribadi dan badan. Mereka memiliki hak dan mendapatkan manfaat atas tanah. Selain itu memiliki dan menguasai bangunan dan/atau mendapatkan manfaat dari bangunan itu. 

Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua jenis tanah dan bangunan dapat dikenakan PBB. Beberapa jenis tanah dan bangunan tersebut adalah rumah ibadah, panti asuhan, sekolah, hutan lindung, dan area pemakaman. 

PBB termasuk dalam kategori pajak pusat serta harus dilunasi paling lambat enam bulan setelah tanggal SPPT diterima. Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui bank, ATM, atau dinas pendapatan daerah setempat. 

2. Pajak Penghasilan

Subjek dari Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu. Perhitungan pajak ini dilakukan selama satu tahun. Wajib Pajak dari jenis pajak langsung ini terdiri dari:

  • Orang pribadi yang berpenghasilan kena pajak.
  • Badan/perusahaan dengan izin usaha legal (koperasi, CV, BUMN, BUMD, PT).

Pajak Penghasilan fokus pada setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak dan digunakan untuk menambahkan kekayaan atau konsumsi yang bersangkutan. Ada beberapa jenis dari Pajak Penghasilan, seperti Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26.

3. Pajak Kendaraan Bermotor

Pajak Kendaraan Bermotor adalah pungutan yang dibebankan kepada siapa saja dengan kepemilikan kendaraan beroda dua atau lebih. Tarif dalam jenis pajak langsung ini sudah ditetapkan sama di seluruh Indonesia, seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001. Subjek pajaknya bisa orang pribadi atau badan dengan kepemilikan/menguasai kendaraan bermotor.

Besaran yang dikenakan dalam Pajak Kendaraan Bermotor tergantung dari nilai jual kendaraan bermotor itu sendiri. Kemudian ditambah dengan perhitungan bobot dan dampak dari pemakaian kendaraan berdasarkan tingkat pencemaran serta kerusakan jalan yang dapat ditimbulkan. Pembayaran pajak ini dapat dilakukan di kantor SAMSAT atau melalui e-Samsat.

Itulah pengertian, jenis, dan contoh pajak langsung. Semoga informasi ini bermanfaat dan jangan lupa untuk menggunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk membantu urusan perpajakan Anda.

Banner General (kontak, download app)

Ketahui Objek Pajak dari Pajak Penghasilan

objek pajak adalah

Dalam Pajak Penghasilan, fokus utama yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yakni setiap tambahan dari kemampuan ekonomis yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak, termasuk yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Penghasilan itu bisa dipakai untuk kebutuhan konsumsi atau menambah kekayaan dari Wajib Pajak dengan nama atau dalam bentuk apapun. Penasaran dengan objek pajak dari setiap jenis pajak yang ada pada saat ini? Simak penjelasan selengkapnya bersama AyoPajak di bawah ini.

Objek Pajak dari Pajak Penghasilan

Ada berbagai objek pajak dari setiap jenis pajak yang dikenakan pada saat ini. Semuanya berfokus kepada penghasilan dari setiap Wajib Pajak, termasuk:

  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
  19. surplus Bank Indonesia.

Selain itu, beberapa penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

  1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. penghasilan berupa hadiah undian;
  3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  5. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Semoga penjelasan mengenai objek pajak adalah penghasilan dan informasi lainnya di dalam Pajak Penghasilan ini bermanfaat untuk Anda. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam urusan perpajakan, gunakan platform AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

Banner General (kontak, download app)

Pengertian Faktur Pajak dan Fungsinya

faktur pajak adalah

Faktur pajak adalah satu hal yang tak boleh luput dalam dunia perpajakan. Apakah Anda tahu apa itu faktur pajak? Oleh karena sebagai Wajib Pajak yang baik Anda harus memahami apa itu faktur pajak yang penting digunakan dalam pembayaran pajak, maka kami telah menyiapkan beberapa informasi penting yang perlu diketahui seputar pengertian faktur pajak, jenis-jenis, hingga fungsinya di bawah ini.

Pengertian Faktur Pajak

Faktur pajak adalah bentuk atau bukti pungutan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Agar lebih mudah dipahami, singkatnya faktur pajak digunakan oleh PKP ketika akan menjual barang atau jasa kena pajak yang dimiliki.

Setiap barang atau jasa kena pajak yang dijual, PKP wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti bahwa perusahaan tersebut telah memungut pajak dari setiap orang yang membeli barang atau jasa mereka. Setelahnya, seluruh faktur pajak yang telah diterbitkan harus dilaporkan kepada kantor pajak sebagai bentuk transparansi antara PKP dan Direktorat Jenderal Pajak sehingga tidak dianggap bahwa perusahaan tersebut melakukan penggelapan pajak. 

Baca juga: Cara Meminta Nomor Seri Faktur Pajak Offline dan Online

Jenis-jenis Faktur Pajak

Sesuai peraturan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2007, setidaknya ada 3 jenis faktur pajak yang paling sering digunakan, yaitu:

1. Faktur Pajak Standar

Faktur pajak ini merupakan jenis yang paling umum digunakan oleh PKP yang mengacu pada ketentuan Dirjen Pajak No Kep-53/PJ/1994 yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1994 dan masih digunakan hingga saat ini. Faktur pajak standar setidak-tidaknya harus memuat keterangan sebagai berikut:

  • Terdapat NPWP, Nama PKP, dan alamat dari perusahaan yang menjual barang atau jasa kena pajak
  • Terdapat informasi mengenai barang atau jasa kena pajak yang dijual, lengkap dengan seluruh rincian mulai dari harga jual, potongan, dan jumlah pembelian
  • Terdapat jumlah PPN (serta PPnBM jika ada) yang dipungut
  • Terdapat kode faktur pajak beserta tanggal pembuatannya
  • Terdapat nama terang, jabatan, dan tanda tangan dari pihak terkait PKP

2. Faktur Pajak Gabungan

Faktur pajak gabungan merupakan jenis faktur pajak yang sama dengan faktur pajak standar, namun jenis ini digunakan oleh PKP yang melakukan penjualan barang atau jasa kena pajak secara berulang kali. Dengan demikian, untuk memudahkan dan mengefisienkan penggunaan nomor faktur pajak yang telah diterbitkan oleh Dirjen Pajak, maka PKP dapat menggunakan faktur pajak gabungan tersebut untuk memungut pajak dari pembeli.

3. Faktur Pajak Sederhana

Anda dapat menemukan faktur pajak sederhana dalam kegiatan sehari-hari seperti mendapatkan bon atau bill setelah makan di sebuah restoran. Faktur pajak sederhana merupakan jenis faktur yang dikeluarkan oleh PKP dalam bentuk bon kontan atau potongan kecil dan tetap terhitung sebagai faktur pajak yang harus dilaporkan sebagai bukti adanya transaksi penjualan barang atau jasa kena pajak.

Baca juga: Cara Membuat Faktur Pajak Keluaran

Fungsi Faktur Pajak

Bagi Anda yang merupakan PKP yang menjual barang atau jasa kena pajak, faktur pajak merupakan hal yang penting dan tentunya berguna untuk perusahaan Anda. Hal ini dikarenakan dengan adanya faktur pajak, Anda memiliki bukti bahwa sebagai PKP telah melakukan pemungutan pajak kepada pembeli dan melaporkannya kepada Dirjen Pajak. Dengan demikian, sebagai PKP Anda telah menjadi wajib badan yang taat dan patuh kepada Dirjen Pajak dan juga membantu perekonomian negara.

Jika Anda memiliki masalah dengan pembuatan faktur pajak ataupun pelaporan PPN, AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP siap untuk membantu kapanpun agar seluruh Wajib Pajak di Indonesia dapat menjadi Wajib Pajak yang taat dan patuh dalam membayar pajak demi keberlangsungan ekonomi masyarakat luas di negara kita.

Banner e-Faktur

Mengenal Perbedaan Pajak dan Retribusi

perbedaan pajak dan retribusi

Memahami perbedaan pajak dan retribusi tidaklah sulit. Banyak orang dan mungkin juga termasuk Anda sering menyamakan arti pajak dan retribusi. Padahal kedua istilah ini memiliki arti dan fungsi yang berbeda. Melalui artikel ini, kami akan membahas secara lengkap mengenai informasi pajak dan retribusi yang perlu Anda ketahui sebagai Wajib Pajak di negara Indonesia.

Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang Pasal 1 No 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak dibagi menjadi dua cakupan yaitu pajak pusat yang langsung dipungut oleh pemerintah pusat melalui DirJen Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak beserta Kementrian Keuangan dan cakupan yang kedua adalah pajak daerah.

Beberapa contoh pajak yang biasanya dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

  • Pajak Penghasilan PPh
  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  • Pajak Kendaraan Bermotor
  • Pajak Restoran
  • Pajak Hiburan
  • Bea Materai
  • Bea Cukai

Pengertian Retribusi

Retribusi dan pajak memiliki fungsi yang sama yaitu masyarakat harus membayarkan sejumlah kontribusi. Namun dalam hal ini, pihak yang dibayar bukanlah negara melainkan kepada pihak tertentu seperti badan usaha ataupun perorangan atas fasilitas umum yang digunakan. 

Sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang No 28 Tahun 2009, pengelolaan retribusi diatur berdasarkan keputusan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah terkait dengan badan usaha atau perorangan yang terlibat di dalamnya.

Perbedaan Pajak dan Retribusi

Berikut ini, beberapa perbedaan pajak dan retribusi berdasarkan balas jasa, objek, sifat, serta tujuannya, yaitu:

1. Balas Jasa

Pajak digunakan sebagai sarana untuk pemerataan ekonomi negara. Oleh karena itu, pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak belum tentu dapat dirasakan langsung karena pajak yang dipungut akan dialokasikan untuk maksud yang lebih luas seperti fasilitas umum, perbaikan jalan, subsidi pendidikan, dan lain-lainnya.

Sementara dalam retribusi, manfaat dapat dirasakan langsung oleh wajib retribusi seperti pembayaran retribusi kebersihan lingkungan. Mereka yang telah membayar retribusi kebersihan lingkungan akan mendapatkan manfaat dalam bentuk pengangkutan sampah setiap harinya.

2. Objek

Objek yang dipajakkan merupakan objek yang bersifat umum seperti pajak penghasilan, barang mewah, kendaraan bermotor, hingga bea materai. Sedangkan retribusi berdasarkan dengan badan yang mendapatkan izin dari pemerintahan untuk ditujukan kepada masyarakat.

Baca juga: Informasi Objek Pajak Penghasilan yang Wajib Dipahami

3. Sifat

Setiap Wajib Pajak wajib untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan dan apabila Wajib Pajak tidak membayarkan dan juga tidak melapor ke kantor pajak, makan akan ada sanksi yang dikenakan. Sifat dari retribusi ini tidak wajib, namun dapat dipaksakan sesuai dengan ketentuan dari pemerintah.

4. Tujuan

Pajak dan retribusi tentu saja memiliki tujuan yang berbeda. Pemungutan pajak bertujuan untuk meningkatkan perekonomian negara serta menaikkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sementara retribusi bertujuan untuk memberikan jasa atau izin agar wajib retribusi mendapatkan pelayanan dari pemerintah.

Demikian informasi mengenai perbedaan pajak dan retribusi yang dapat kami sampaikan untuk Anda. Apabila Anda merupakan seorang Wajib Pajak pribadi maupun usaha yang ingin berkonsultasi seputar pajak dan retribusi, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP karena kami siap membantu Anda untuk menjadi warga negara yang patuh untuk membayar pajak demi kesejahteraan negara Indonesia.

Banner General (kontak, download app)

7 Asas Pemungutan Pajak di Indonesia

asas pemungutan pajak

Apakah Anda pernah mendengar istilah asas pemungutan pajak? Setiap pajak masyarakat Indonesia yang dipungut oleh institusi pemungut pajak tentunya mempunyai faktor-faktor perhitungan tertentu untuk menentukan nilai pajak yang harus dibayarkan. Faktor-faktor ini yang dinamakan dengan asas pemungutan pajak di Indonesia. Lalu, apa saja faktor penentu atau asas pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia? Simak informasi selengkapnya di bawah ini.

Asas Pemungutan Pajak di Indonesia

Di Indonesia, ada 7 asas pemungutan pajak Indonesia yang berlaku, yaitu sebagai berikut:

1. Asas Yuridis

Asas pemungutan pajak yang pertama yaitu asas yuridis. Asas yuridis merupakan pemungutan pajak yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang yang berlaku. Adapun Undang-Undang yang termasuk ke dalam asas yuridis ini adalah:

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Aturan dan Prosedur Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang Berlaku di Indonesia
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah

2. Asas Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu asas penentu yang sangat penting dalam pemungutan pajak. Pajak yang dipungut akan digunakan untuk meningkatkan perekonomian negara dan masyarakat. Namun, nominal pemungutan pajak juga tidak boleh memberatkan masyarakat karena dapat membuat perekonomian negara turun.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

3. Asas Finansial

Setiap individu pastinya memiliki tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Faktor inilah yang dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak secara adil. Tentunya bagi Wajib Pajak yang berpenghasilan lebih besar akan memiliki beban pajak yang lebih besar bagi Wajib Pajak yang berpenghasilan menengah ke bawah.

4. Asas Sumber

Sumber penghasilan Wajib Pajak atau wajib usaha termasuk ke dalam asas pemungutan pajak. Jadi, apabila seorang Wajib Pajak memiliki penghasilan di luar negeri, maka mereka tidak akan dikenakan pajak di Indonesia. Namun apabila penghasilan tersebut digunakan di Indonesia, maka individu tersebut wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Asas Wilayah

Hampir mirip dengan asas sumber, namun asas ini melihat pengenaan pajak dari faktor tempat tinggal. Bagi WNI yang bertempat tinggal di Indonesia, maka mereka wajib membayar pajak. Jika WNI tersebut tinggal di luar negeri, maka mereka harus mematuhi peraturan perpajakan negara yang ditinggali.

Hal ini berlaku untuk WNA atau Warga Negara Asing yang memiliki aset atau objek pajak di Indonesia, maka WNA tersebut akan diberlakukan sesuai peraturan pajak yang telah ditetapkan.

6. Asas Kebangsaan

Mengikuti asas pada poin sebelumnya, untuk warga negara yang lahir di Indonesia maupun warga negara asing yang sudah tinggal lebih dari jangka waktu 12 bulan, maka mereka juga akan dimasukkan ke dalam daftar Wajib Pajak di Indonesia.

7. Asas Umum

Asas terakhir adalah asas umum yang berarti pemungutan pajak diambil dari objek pajak atau Wajib Pajak secara umum dengan porsi yang sama rata. Contoh dari faktor asas umum yang kita lihat sehari-hari adalah fasilitas umum, jalan raya, sarana transportasi, dan lainnya.

Banner General (kontak, download app)

Itulah 7 asas pemungutan pajak yang perlu Anda ketahui sebagai Wajib Pajak. Apabila Anda memiliki masalah seputar pajak dan ingin berkonsultasi dengan konsultan pajak, silakan hubungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP sekarang juga.

 

Ketentuan Aturan Dalam Pajak Hibah

Ketahui Pajak Hibah dan Ketentuan Aturannya

Sebenarnya, apa itu pajak hibah? Apakah ketika kita memberikan hibah, kita juga akan dikenakan pajak? Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 1666 hingga Pasal 1693, hibah adalah suatu perjanjian di mana si pemberi secara cuma-cuma dan sadar menyerahkan benda kepada penerima hibah. Pemberian dan penerimaan hibah hanya akan sah jika kedua belah pihak masih hidup. Jika pemberian harta hibah dilakukan setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka pemberian tersebut menjadi hibah wasiat. 

Baca juga: Mengenal Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Memahami Pajak Hibah

Dipandang dari sisi pajak, hibah menjadi Objek Pajak yang menimbulkan status kewajiban pajak bagi sang penerima hibah. Pemberian dalam bentuk hibah bisa dikenakan pajak karena penerimaan hibah dianggap sebagai bentuk penghasilan bagi penerima hibah, sehingga penerima diwajibkan untuk membayarkan pajak penghasilan atas hibah tersebut. Namun, tak semua pemberian hibah menjadi Objek Pajak. Menurut PMK No. 245/PMK.03/2008, terdapat lima sumber penerimaan yang dibebaskan dari pajak hibah, yaitu:

  1. Keluarga sedarah yang masih dalam satu garis keturunan sederajat, seperti hubungan anak dan orang tua kandung. Jadi, jika hibah diberikan oleh orang tua ke anak kandung, maka hibah tersebut tidak menjadi objek pajak PPh. Lain halnya dengan pemberian hibah dari kakak kandung ke adik kandung atau dari menantu ke mertua, maka hibah tersebut menjadi Objek Pajak PPh.
  2. Badan atau organisasi keagamaan yang mengurus tempat ibadah dan tidak melakukan aktivitas yang mencari keuntungan. Ketika badan keagamaan ini menerima keuntungan, maka pemberian dari badan keagamaan ini menjadi Objek Pajak PPh.
  3. Lembaga pendidikan yang hanya melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa mencari keuntungan. Apabila badan pendidikan melakukan kegiatan untuk mencari keuntungan, maka penerimaan tersebut akan menjadi objek pajak PPh.
  4. Badan sosial, termasuk yayasan dan koperasi, yang hanya melakukan kegiatan amal seperti:
  • Pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup orang lanjut usia (panti jompo).
  • Pemeliharaan orang terlantar, kaum difabel, atau anak yatim piatu.
  • Santunan dan/atau pertolongan untuk korban kecelakaan, bencana alam, dan sejenisnya.
  • Beasiswa pendidikan.
  • Pelestarian flora dan fauna.
  • Kegiatan sosial lainnya.
  1. Orang pribadi yang memiliki atau menjalankan UMKM dengan syarat:
  • Memiliki kekayaan bersih <Rp500.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
  • Memiliki hasil penjualan <Rp2.500.000.000 per tahun.

Bagi hibah yang tidak dibebaskan dari PPh, maka Anda bisa mengacu pada PP No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Pasal 2 ayat 1 huruf a mengatakan bahwa besarnya PPh yang dikenakan atas hibah tanah dan/atau bangunan itu sebesar 2,5% yang dikalikan dengan nilai bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. PPh ini akan dikenakan kepada si pemberi hibah.

Di sisi lain, tak hanya pemberi hibah yang akan dikenakan pajak, tetapi juga penerima hibah. Pajak yang dikenakan ke penerima hibah adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 88, besarnya tarif BPHTB yang paling tinggi adalah 5% dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah (Perda). 

Baca juga: Yuk, Pahami Cara Lapor SPT Tahunan Badan Online!

Demikianlah informasi seputar pajak hibah. Jika Anda menerima atau memberi hibah, jangan lupa kunjungi laman AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk mempelajari informasi-informasi lengkap mengenai implikasi pajak hibah. Segera daftarkan diri Anda di AyoPajak sehingga Anda tidak akan ketinggalan berita-berita terbaru seputar pajak dan juga ketahui lebih lengkap layanan e-Filling dan e-Billing dari AyoPajak.

Cara Mengisi eFiling Untuk Pelaporan Pajak Penghasilan Tahunan

cara mengisi eFiling pajak tahunan

Bagaimana, ya, cara mengisi e-Filing dengan benar? Bagi Wajib Pajak yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan tahunan yang nilainya melebihi Rp60.000.000, maka diwajibkan lapor pajak dengan cara mengisi form SPT 1770 S. Selain syarat penghasilan yang harus melebihi angka Rp60.000.000 per tahun, bagi Wajib Pajak yang memiliki sumber penghasilan dari dua tempat atau lebih di tahun yang sama juga diharuskan menggunakan form SPT Tahunan ini. Dibandingkan dengan form SPT 1770 SS, ada beberapa lampiran tambahan yang perlu diisi oleh Wajib Pajak dalam form SPT 1770 S. 

Cara Mengisi eFiling

Cara mengisi SPT Tahunan melalui e-Filing tidaklah rumit. Sebelum mengisi form SPT, jangan lupa untuk mempersiapkan dokumen terkait

Dokumen Pelengkap Lapor SPT Tahunan

Sebelum Anda lapor SPT Tahunan melalui e-Filing, siapkan dulu beberapa dokumen di bawah ini:

  • NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Nomor induk pajak yang berlaku seumur hidup dan tidak akan berubah sekalipun anda berada pada tempat tinggal berbeda dengan domisili.
  • EFIN (Electronic Filing Identification Number). Nomor identitas yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan transaksi elektronik seperti menggunakan e-Filling. Dapatkan EFIN terlebih dahulu sebelum lapor SPT tahunan.
  • Bukti potong pajak. Ada beberapa bukti potong yang harus disediakan:
    • Bukti potong 1721 A1 (pegawai swasta) atau 1721 A2 (PNS)
    • Bukti potong 1721 VII untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final
    • Bukti potong PPh Pasal 23 untuk penghasilan dari sewa selain tanah dan bangunan
    • Bukti potong PPh Pasal 4 ayat 2 untuk sewa tanah dan bangunan
  • Daftar penghasilan
  • Daftar harta pribadi. Bisa berupa buku tabungan, sertifikat tanah, sertifikat bangunan, dan juga rekening utang
  • Daftar tanggungan keluarga
  • Bukti Pembayaran Zakat, atau sumbangan lain

Baca juga: Inilah Cara Aktivasi e-Filing Pajak

Tahapan Cara Lapor SPT Tahunan dengan E-Filing

SPT Tahunan ini dapat dilaporkan secara online melalui situs resmi seperti DJP online. Tak perlu diperpanjang lagi, mari kita cermati di bawah ini cara mengisi e-Filing SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

  1. Buka situs pelaporan pajak pilihan Anda, kemudian klik login.
  2. Masukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), password akun DJP Online Anda, dan juga kode keamanan (captcha). Lalu klik login untuk masuk ke akun e-Filing Anda.
  3. Pilih layanan e-Filing di homepage situs pelaporan pajak.
  4. Klik “Buat SPT” pada layar.
  5. Ikuti panduan pengisian e-Filing agar muncul form pelaporan yang sesuai. Untuk formulir 1770 S tersedia pilihan apakah Wajib Pajak ingin mengisi SPT dengan bentuk formulir atau dengan panduan.
  6. Pilih tahun pajak yang akan dilapor dan status SPT (normal atau pembetulan).
  7. Jika Anda memiliki bukti potong, maka pilih menu tambah bukti potong. Isi data formulir dengan nama dan NPWP dari pemotong/pemungut pajak, nomor dan tanggal bukti potong/pemungutan pajak, dan jenis serta jumlah pajaknya. Kemudian, pilih menu simpan.
  8. Klik langkah selanjutnya, isi jumlah penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan Anda.
  9. Ketika sudah selesai, selanjutnya Anda akan diminta untuk mengisi daftar penghasilan dalam negeri lainnya, bila ada. Penghasilan ini contohnya seperti bunga deposito, sewa kontrakan, dan lainnya.
  10. Selanjutnya, Anda akan ditanya apakah Anda mempunyai penghasilan luar negeri atau tidak. Jika punya, maka berikutnya Anda harus mengisi penghasilan neto luar negeri yang Anda dapatkan.
  11. Masukkan penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak seperti sumbangan.
  12. Masukkan penghasilan yang telah dipotong PPh final seperti hadiah undian.
  13. Masukkan daftar harta Anda kemudian utang yang masih dimiliki seperti kredit motor.
  14. Tambahkan tanggungan yang dimiliki.
  15. Isi bagian zakat/sumbangan wajib yang Anda pernah bayarkan ke lembaga yang disahkan pemerintah.
  16. Pilih status kewajiban perpajakan suami istri.
  17. Isi informasi soal pengembalian atau pengurangan PPh Pasal 24, pembayaran PPh pasal 25, dan pokok SPT PPh 25 (bila ada). 
  18. Pada tahap ini, Anda akan memasuki bagian perhitungan PPh yang terutang. Di sini akan terlihat apakah status SPT Anda Nihil, Kurang Bayar, atau Lebih Bayar.
  19. Jika semua informasi yang diisi sebelumnya sudah dianggap benar, masukkan kode verifikasi pada kolom yang ditentukan. Kode verifikasi akan dikirimkan ke email yang Anda daftarkan.
  20. Setelah kode verifikasi dimasukkan, maka Anda sudah sukses dalam melakukan e-Filing SPT Tahunan Anda.

Demikianlah langkah-langkah dalam cara mengisi e-Filing untuk lapor SPT Tahunan, selain itu Anda juga perlu mengetahui bagaimana cara aktivasi e-Filing pajak. Tak perlu khawatir, AyoPajak telah menyediakan jasa e-Filing yang akan membantu Anda untuk melaporkan SPT Anda tepat waktu. Segera kunjungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP!

Banner e-Filing

Informasi Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Norma penghitungan penghasilan neto

Dalam dunia perpajakan, ada banyak istilah yang sebaiknya Anda pahami dan ketahui. Salah satunya adalah Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Secara umum, pengertian dari NPPN adalah norma yang bisa digunakan Wajib Pajak dalam penghitungan penghasilan neto pada satu tahun pajak dengan dasar penghitungan sesuai PPh Pasal 25/29 terutang.

Tujuannya dari menggunakan NPPN adalah untuk menyederhanakan penghitungan dalam mencari penghasilan neto. Siapa saja pihak yang bisa menggunakan norma ini dan bagaimana cara menghitungnya? Simak ulasannya berikut ini.

Dasar Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Sebagai landasan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, ada beberapa hal yang berkaitan dengan siapa saja yang boleh menggunakannya, antara lain:

  • Wajib Pajak maupun Objek Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran bruto sebesar kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Namun dengan syarat memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan.
  • Objek Pajak maupun Wajib Pajak wajib melakukan pencatatan dalam menghitung penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
  • Tahun pajak yang berlaku terhitung dalam jangka waktu satu tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender yang ada.

Baca juga: Mekanisme Perhitungan PPh Badan

Berapa Besaran Norma Penghitungan Penghasilan Neto?

Cara penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Pajak dibedakan lagi menjadi beberapa syarat, yang mana besarannya berbeda-beda di setiap wilayah. Berikut di antaranya yang perlu Anda ketahui aturannya:

  • Pembagian persentase yang dikelompokkan menurut wilayah di ibukota provinsi seperti Palembang, Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, serta ibukota provinsi maupun daerah lainnya.
  • Persentase tersebut untuk Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilan netonya menggunakan NPPN.
  • Persentase bagi Wajib Pajak orang pribadi  yang tidak sepenuhnya melakukan pembukuan maupun tidak memperlihatkannya.
  • Persentase bagi Wajib Pajak badan yang tidak sepenuhnya melakukan pembukuan maupun tidak memperlihatkannya.

Berdasarkan Jenis Wajib Pajaknya

Norma penghitungan Penghasilan Neto juga bisa digunakan dengan melihat jenis Wajib Pajak. Di sini ada dua kriteria dari Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha, yakni:

  • Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha maupun pekerjaan bebas. Dilakukan pada masing-masing jenis usaha maupun pekerjaan dengan memperhatikan pengelompokan berdasar wilayah yang dikenakan norma.
  • Penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha maupun pekerjaan bebas dan penjumlahan penghasilan neto atas usaha yang dimiliki.

Baca juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan dengan Mudah

Bagaimana Menghitung Norma Penghitungan Penghasilan Neto?

Lantas, bagaimana cara menghitung Norma Penghitungan Penghasilan Neto? Hal ini bisa dihitung menggunakan rumus tertentu. Salah satunya adalah dengan rumus penghasilan neto sebagai berikut:

Peredaran penghasilan bruto x Tarif persentase NPPN.

Contoh kasusnya bisa dilihat seperti di bawah ini:

Pak Toni adalah agen asuransi dengan domisili tempat tinggal di Surabaya. Pada tahun pajak 2019, dirinya mendapatkan penghasilan bruto Rp500 juta. Lalu, berapa penghasilan netonya?

Di sini, kita harus melihat persentase neto dari pekerjaan dan domisili. Jika Norma Penghitungan Penghasilan Neto Pak Toni 50%, maka dapat dihitung:

  • Penghasilan neto = Rp500 juta x 50%
  • Penghasilan neto =Rp250 juta

Setidaknya, itulah informasi mengenai penggunaan Norma Penghitungan Pajak yang perlu Anda ketahui.  Jangan lupa untuk selalu mencatat peredaran bruto usaha Anda dan mendapatkan tarif persentase NPPN sesuai dengan domisili dan KLU. Dengan begitu, Anda dapat membayar dan melaporkan pajak dengan mudah dan akurat. Untuk mendapatkan informasi lainnya seputar perpajakan, Anda bisa mengunjungi situs AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.

Memahami Konsep dan Definisi Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan adalah

Masih ada banyak sekali pemahaman dan jenis pajak yang harus Anda ketahui. Terkhusus bagi Anda yang memiliki usaha dan komersial. Salah satu informasi perpajakan yang tidak boleh luput dari perhatian Anda adalah mengenai pajak tangguhan. Pajak tangguhan adalah pajak yang memiliki pengaruh terhadap pajak yang dibayarkan. Lantas, bagaimana konsep dan definisinya? Simak ulasannya berikut ini!

Pengertian Pajak Tangguhan

Secara definisi, pajak tangguhan adalah beban yang memberi pengaruh tertentu. Jika dilihat dari aspek perpajakannya, sudah seperti menambah maupun mengurangi beban pajak yang harus dibayarkan di masa depan. Akan tetapi, ada dua sudut pandang yang bisa digunakan dalam memahami pengertian pajak tangguhan.

Sudut Pandang Aset

Jika kita menggunakan sudut pandang aset, maka pajak tangguhan bisa diartikan sebagai jumlah PPh yang dipulihkan di periode mendatang karena adanya akumulasi rugi pajak yang belum dikompensasi. 

Sudut Pandang Liabilitas

Selanjutnya, kita bisa menilai pengertian pajak tangguhan dari sudut pandang liabilitas. Dalam segi ini, pajak tangguhan adalah pajak yang timbul karena terdapat perbedaan antara beban peraturan pajak fiskal dengan standar akuntansi komersial atau keuangan. Adapun perbedaan saat pengakuan tersebut mengakibatkan beban yang berbeda. Namun, secara keseluruhan jumlah totalnya yang diakui secara peraturan fiskal dan komersial akan nampak sama (temporary difference). 

Baca juga: Memahami Seluk Beluk Pajak Progresif

Mengenal Konsep Dasar Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan adalah pajak yang cukup variatif dalam hal konsep dasarnya. Setidaknya, ada empat pendekatan yang bisa dilakukan secara fiskal untuk menilai konsep pajak tangguhan ini. Berikut di antaranya yang harus Anda pahami.

1. Pengakuan

Konsep dasar pengakuan dalam pajak tangguhan adalah pengakuan aktiva pada kewajiban perpajakan yang ditangguhkan atau ditunda pada Laporan Keuangan. Perusahaan yang membuat laporan keuangan tersebut dapat mengakui besaran nilai yang tercatat pada sebuah aktiva. Perusahaan juga dapat melunasi nilai yang tercatat pada kewajiban. Adapun temporary difference yang dapat menambah jumlah pajak di masa mendatang akan diakui sebagai kewajiban. 

2. Pengukuran

Pengukuran pajak tangguhan tidak dihitung menggunakan tarif pajak yang berlaku untuk saat ini, melainkan berdasarkan tarif ketika aset direalisasikan maupun saat kewajiban telah dilunasi. Secara teknis, pengakuan kewajiban maupun aktiva pajak ini tetap dilakukan terhadap kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan. Tak hanya itu saja, temporary difference dari laporan keuangan usaha komersial maupun fiskal kena pajak nantinya akan dikalikan berdasarkan tarif pajak yang berlaku.

3. Penyajian

Dalam konsep dasar penyajian, aset dan kewajiban pajak tangguhan haruslah dipisahkan antara aset dan kewajiban saat ini. Kemudian, keduanya harus disajikan pada unsur tidak lancar dalam sebuah neraca. Hal ini pun berlaku bagi beban maupun penghasilan pajak.

4. Pengungkapan

Terakhir, sesuai dengan PSAK No.46 yang mengatur tentang hal yang berkaitan dengan pajak tangguhan, dituliskan bahwa pajak tangguhan harus masuk dalam pengungkapan catatan atas laporan keuangan. Dalam hal ini, Anda bisa merujuk pada PSAK No.46 khususnya paragraf 56 sampai 63.

Baca juga: Mengenal SPT Tahunan yang penting di ketahui!

Contoh Menghitungnya

Kini, Anda sudah mengetahui tentang pajak tangguhan sebagai pajak yang penting dalam sebuah perusahaan. Karenanya, Anda pun perlu mengetahui bagaimana cara menghitungnya. Berikut contoh kasusnya yang bisa Anda ikuti:

PT Sangkar Emas merupakan perusahaan di bidang penjualan emas terkemuka. Dari informasi di bawah ini, bisa disimpulkan kalau perhitungan pajak tangguhannya adalah sebagai berikut:

  • Laba komersial pada tahun 2017 = Rp3.000.000.000 
  • Koreksi fiskal negatif pada biaya penyusutan =  Rp100.000.000
  • Laba fiskal = laba komersial – koreksi fiskal negatif 

Rp3.000.000.000 – Rp100.000.000 = Rp2.900.000.000

  • PPh Badan terutang

Rp2.900.000.000 x 25% = Rp725.000.000

  • Bila tak ada koreksi fiskal, maka penyusutan PPh Badan yang terutang

Rp3.000.000.000 x 25% = Rp750.000.000

  • Kewajiban pajak yang harus dibayar

Rp750.000.000- Rp725.000.000 = Rp25.000.000

Itulah  pemahaman konsep dasar dan definisi pajak tangguhan yang perlu Anda pahami. Pada dasarnya memahami pajak tangguhan adalah kewajiban bagi individu yang memiliki unit usaha tertentu. Bila Anda ingin mendapatkan informasi lainnya seputar perpajakan bisa kunjungi AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP untuk kemudahan dalam pembayaran pajak.